Pasca pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia di perairan utara Natuna yang dilakukan kapal penjaga pantai (coast guard) Tiongkok sejak 10 Desember 2019, Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah memanggil Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian, untuk melayangkan nota protes keras terhadap Pemerintah Tiongkok atas pelanggaran yang dilakukan.
“Kemlu
mengonfirmasi terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU
fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRT di perairan Natuna.
Kemlu telah memanggil Dubes Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Jakarta dan
menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes
juga telah disampaikan,” demikian pernyataan Menlu RI Retno Marsudi
terkait isu di Natuna pada Senin (30/12/2019).
Menlu RI
menambahkan bahwa ZEE Indonesia sudah ditetapkan berdasarkan United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
tahun 1982.
Ditambahkan
pula oleh Menlu RI bahwa sebagai salah satu party dari UNCLOS 1982, Tiongkok
memiliki kewajiban untuk menghormati UNCLOS 1982.
Selanjutnya
Menlu RI juga menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line, klaim sepihak Tiongkok
yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui hukum internasional.
Menyikapi
protes Pemerintah Indonesia, pada 2 Januari 2020 Pemerintah Tiongkok melalui
Juru bicara Kemlu Geng Shuang memberikan tanggapan dengan menyatakan “Saya
ingin menegaskan bahwa posisi dan dalil-dalil Tiongkok mematuhi hukum
internasional, termasuk UNCLOS. Jadi apakah pihak Indonesia menerima atau
tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa Tiongkok punya hak dan
kepentingan di perairan terkait (relevant
waters). Yang disebut sebagai keputusan arbitrase Laut Tiongkok Selatan itu
ilegal dan tidak berkekuatan hukum, dan kami telah lama menjelaskan bahwa
Tiongkok tidak menerima atau mengakui itu.”
Sebagaimana
diketahui, meskipun memiliki wilayah laut yang berbatasan dengan Laut Tiongkok
Selatan yaitu Laut Natuna Utara, Indonesia sebenarnya bukan negara yang
memiliki klaim (claimant) atas Laut
Tiongkok Selatan. Karenanya, berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya yaitu
Filipina, Vietnam. Brunei Darussalam, Malaysia dan Kamboja, Indonesia justru
tidak memiliki klaim wilayah tumpang tindih dengan Tiongkok.
Konflik muncul
ketika pada 2016 sejumlah kapal nelayan yang dikawal kapal penjaga pantai
Tiongkok memasuki perairan utara Natuna dengan berdasarkan peta wilayah
Tiongkok tahun 1947 yang memuat “sembilan garis putus-putus (nine dash line).” Dalam peta tersebut Beijing memasukkan
sebagian besar wilayah utara Natuna sebagai wilayah hak penangkapan ikan
traditional (traditional fishing rights).
Menurut peta tersebut, Tiongkok menguasai 90% atau hampir seluruh wilayah
perairan Natuna.
Ketika
diprotes Indonesia, alih-alih mengakui perbuatannya memasuki dan melakukan
penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna pada 2016 tersebut, Kemlu Tiongkok
justru menyampaikan penyangkalan, bahkan setelah kapal penangkap ikannya
ditembak dan ditangkap TNI AL karena memasuki wilayah kedaulatan NKRI di
perairan Natuna.
Saat itu
Beijing justru membuat nota protes atas sikap penembakan dan penangkapan RI
atas nelayan Tiongkok yang mengklaim sudah mencari ikan sejak lama di daerah
tersebut. Namun Indonesia bersikukuh bahwa tindakan yang diambil sudah sesuai
dengan prosedur yang benar karena Tiongkok telah memasuki ZEE RI.
Kini di akhir
2019 dan awal 2020, Tiongkok kembali mengirimkan kapal nelayannya dengan
kawalan kapal penjaga pantai ke perairan Natuna. Kali ini, seperti disebutkan
di awal tulisan, Pemerintah Indonesia kembali melayangkan nota protes yang
bahkan lebih keras. Namun merujuk pernyataan Juru bicara Kemlu Tiongkok, nota
protes Pemerintah Indonesia tersebut tampaknya diabaikan oleh Tiongkok.
Pernyataan
Juru bicara Kemlu Tiongkok yang mengabaikan protes Indonesia tentu saja
mengkhawatirkan. Publik membaca bahwa pernyataan “Jadi apakah pihak Indonesia
menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa Tiongkok punya hak dan kepentingan di
perairan terkait (relevant waters)” merupakan
klaim sepihak Tiongkok atas sebagian wilayah di perairan Natuna yang masuk
dalam sembilan garis putus-putus. Klaim sepihak tersebut tentu menjadi
tantangan yang mesti dijawab Indonesia. Apakah benar di laut kita jaya (jalesveva jaya mahe) seperrti slogan TNI
AL.
Menyikapi
tantangan Tiongkok, tidak mengherankan apabila publik cerewet mengingatkan
Pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas. Publik tidak ingin Indonesia
bersikap lembek dan karenanya menyayangkan pernyataan beberapa pejabat tinggi Indonesia
yang tidak mengesankan posisi yang kuat. Sudah saatnya Indonesia bertindak dan
memikirkan solusi menghadapi Tiongkok.
Untuk itu,
guna menjawab tantangan Tiongkok kiranya dapat mempertimbangkan beberapa usulan
yang mengemuka di masyarakat, yaitu Pertama, Pemerintah Indonesia perlu
menyamakan persepsi di antara pejabat tinggi pemerintahnya mengenai sikap
Indonesia menghadapi Tiongkok di perairan Natuna.
Pernyataan sikap
Menlu RI mengenai posisi Indonesia di Laut Natuna Utara sudah sangat jelas. ZEE
Indonesia di perairan Natuna diakui hukum internasional berdasarkan UNCLOS 1982
dan Indonesia tidak mengakui nine dash
line yang tidak memiliki dasar hukum internasional. Begitupun pernyataan Menko
Polhukam Mahfud MD yang sangat tegas bahwa tidak ada negosiasi mengenai perairan
Natuna. Indonesia menolak perundingan bilateral dengan Tiongkok karena memang
tidak ada sengketa. Laut Natuna Utara mutlak milik Indonesia secara hukum.
Kedua
pernyataan tersebut di atas kiranya bisa menjadi panduan bagi para pejabat tinggi
di Indonesia dalam menyatakan posisi Indonesia mengenai Laut Natuna Utara.
Kiranya jangan sampai ada pejabat yang menyatakan hal lain yang melemahkan pernyataan
kedaulatan Indonesia.
Tidak berkompromi
mempertahankan kedaulatan belumlah cukup dengan pernyataan. Harus ada tindakan
nyata berupa penguasaan efektif atas setiap jengkal wilayah demi wibawa negara
yang saat ini sedang diuji. Sepanjang Desember 2019 dan Januari ini saja
Indonesia kembali diuji dengan kehadiran kapal-kapal nelayan Tiongkok di
perairan Natuna yang dikawal kapal penjaga pantainya.
Menghadapi hal
tersebut tentu saja seluruh elemen bangsa mesti bersatu padu untuk menghadapi dalam
satu komando, tidak boleh mengambil tindakan sendiri-sendiri yang justru
merugikan kepentingan bangsa.
Kedua, menyamakan pandangan bahwa perbedaan pendapat antara
Indonesia dan Tiongkok di perairan Natuna sebisa mungkin tidak memunculkan konflik
militer yang dapat merusak Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia –
Tiongkok yang sudah terjalin selama 70 tahun ini. Menghindari konflik militer
bukan berarti berdiam diri dan tidak melakukan perlawanan.
Perlawanan dapat
dilakukan melalui jalur diplomasi dan tanpa ragu menghadirkan semua mesin
perang di wilayah perairan Natuna. Sebagai negara hukum, kita bisa menyeret
kapal-kapal asing pencuri ikan itu ke meja hijau untuk kemudian ditenggelamkan.
Diplomasi
dikedepankan karena menyadari bahwa Indonesia dan Tiongkok sama-sama memiliki
kepentingan strategis yang besar. Bagi Tiongkok, Indonesia merupakan salah satu
mitra dagang potensial. Selain perdagangan,
investasi Tiongkok juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sementara bagi
Indonesia, Tiongkok adalah mitra dagang terbesar di dunia dimana menurut data
Kementerian Perdagangan total perdagangan bilateral pada 2018 mencapai US$ 72,t milyar (ekspor
sebesar US$ 27,1 milyar dan impor US$ 45,5 milyar atau defisit US$ 18,4 milyar
di pihak Indonesia).
Ketiga, perlunya menghapus kesan atau narasi bahwa perdagangan
Indonesia sangat tergantung pada Tiongkok. Indonesia harus membangun narasi
bahwa justru perdagangan Tiongkok yang membutuhkan Indonesia.
Coba saja
simak data statistik perdagangan bilateral kedua negara, sebagai contoh data
tahun 2018. Pada tahun tersebut, siapa yang lebih banyak memperoleh keuntungan
dari kerjasama perdagangan bilateral? Data menunjukkan bahwa ekspor produk-produk
Tiongkok ke Indonesia ternyata jauh lebih besar dan membuat Indonesia defisit
hingga US$ 18,4 milyar di tahun 2018 saja. Sebagian besar ekspor Tiongkok ke
Indonesia adalah produk non migas, sedangkan ekspor Indonesia ke Tiongkok
sebagian besar produk migas dan sumber daya alam.
Dari data
statistik perdagangan tersebut semestinya kekhawatiran bahwa Tiongkok dapat menekan
Indonesia dari sisi ekonopmi tidak perlu
terjadi. Justru Indonesia yang mestinya dapat menekan Tiongkok lewat
perdagangan. Indonesia misalnya bisa mengetatkan kebijakan tarif dan non-tarif
bagi produk-produk Tiongkok yang masuk ke Indonesia, mengalihkan ekspor sumber
daya alam dari Tiongkok ke negara lain atau mengawasi ketat sumber daya
perikanan di laut agar tidak dicuri negara lain, termasuk oleh nelayan Tiongkok.
“Negara tidak
boleh melindungi pelaku pencurian ikan dan penegakan hukum atas Illegal Unregulated Unreported Fishing (IUUF)
harus dilakukan karena IUUF adalah kejahatan lintas antar negara,: begitu twit
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 4 Januari 2020.
Untuk itu melalui
diplomasi total yang menghadirkan mesin perang dan penegakan hukum serta
penguasaan efektif di perairan Natuna, Pemerintah Indonesia mesti mendorong kembali
Tiongkok untuk duduk bersama secara sederajat dalam kesetaraan untuk
membicarakan dan mencari solusi permasalahan yang dihadapi sesuai dengan
semangat perjanjian kemitraan strategis komprehensif.
Keempat, Pemerintah
Indonesia perlu menunjukkan penguasaan efektif di perairan Natuna dengan
menggiatkan patroli laut dan melakukan penegakan hukum bila ada nelayan asing,
termasuk asal Tiongkok, yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Peningkatan patroli juga bertujuan agar nelayan-nelayan Indonesia saat
melakukan aktifitasnya tidak mendapat gangguan dari kapal-kapal penjaga pantai
Tiongkok.
Hal ini perlu
dilakukan karena kenyataan menunjukkan bahwa perairan Natuna termasuk wilayah
laut yang belum tergarap secara optimal selama ini. Tidaklah mengherankan bila
perairan itu menjadi ajang pencurian ikan.
Indonesia
tidak perlu takut melakukan penangkapan dan pengusiran kapal-kapal asing
pencuri ikan di perairan Natuan, jika perlu menenggelamkan kapal-kapal yang
ditangkap seperti pernah dilakukan pada masa Menteri Keluatan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti.
Dalam
menunjukkan penguasaan efektif, hal yang tdak kalah pentingnya ialah
memberdayakan para nelayan di Natuna dengan kapal dan teknologi yang memadai. Kehadiran
para nelayan dan kapal perang di perairan Natuna semakin menyempurnakan
penguasaan efektif dan kehadiran fisik negara di perairan Natuna.
Kelima, memperhatikan sisi keamanan strategis di kawasan
Laut Tiongkok Selatan, kawasan yang memiliki potensi konflik sangat besar dan
dapat melibatkan kekuatan negara besar di luar kawasan seperti Amerika Serikat,
maka Indonesia perlu menjaga keseimbangan
hubungan antar negara. Indonesia harus mengambil kebijakan pragmatis
dengan tidak harus berpihak pada satu kekuatan dan menjauhi kekuatan lain.
###
Leave a Reply