“Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim : 14:7)
Pada 6-7 Mei 2021 saya menghadiri diskusi
lintas iman dalam bingkai Pancasila di Bogor. Diskusi yang diselenggarakan oleh
Kedeputian Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
dihadiri para pejabat eselon 1 dan 2 Kementerian Agama, perwakilan organisasi
keagamaan dan akademisi.
Diskusi ini sangat menarik karena salah
satu tujuannya adalah untuk melakukan penguatan kebijakan moderasi beragama. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moderasi didefinisikan sebagai pengurangan
kekerasan, atau penghindaran keekstreman. Maka, ketika kata moderasi
disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut
berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman
dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Sebagai negara yang secara sunnatullah memiliki
keberagaman suku, agama, ras dan bahasa, moderasi beragama di Indonesia menjadi
penting untuk menghilangkan gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang
masalah keagamaan.
Berbagai gesekan sosial yang terjadi
belakangan ini memperlihatkan bahwa perbedaan cara pandang masalah keagamaan
hidup dan berkembang di masyarakat. Ada yang berupaya membenturkan pandangan keagamaan
dengan ritual budaya lokal seperti dalam sedekah laut. Ada yang melakukan penolakan
pembangunan rumah ibadah meski sudah ada ijin. Adapula yang mendorong sikap
eksklusif menolak pemimpin urusan publik karena beda agama.
Bukan hanya itu, yang lebih mengkhawatirkan lagi yaitu adanya
pihak-pihak yang atas nama agama ingin mengkafirkan orang yang tidak seagama,
bahkan boleh membunuh, menghunus pedang, memenggal kepala, dan menghalalkan
darahnya.
Apabila gesekan-gesekan sosial karena
perbedaaan pandangan keagamaan tidak segera dicarikan jalan keluarnya, maka kebersamaan
dan kebhinekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan
terkoyak dan dapat meruntuhkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Karena
itu bagi masyarakat Indonesia yang menginginkan negaranya menjadi kuat dan
mampu bertahan sepanjang masa maka pilihannya hanya satu yaitu menerima dan
memperkuat kebhinekaan.
Masyarakat
Indonesia dapat belajar dari pengalaman di berbagai negara dan bangsa di dunia
yang karena tidak mampu mengelola keberagaman maka mereka terpecah belah. Keberhasilan menjaga keberagaman adalah keberhasilan
mengelola sunnatullah. Semakin kuat menjaga keberagaman semakin kuat ketahanan
nasional. Sebaliknya semakin buruk mengelola keberagaman maka semakin remuk
ketahanan nasional.
Dari negara-negara di Eropa kita belajar
bagaimana mereka gagal mengelola keberagaman identitas kesukuan dan bahasa sejak
berabad-abad maka akibatnya ketahanan nasional sebagai sebuah bangsa Eropa runtuh.
Mereka terpecah dan tumbuh sebagai negara yang secara geografis kecil-kecil
seperti sekarang.
Bahkan
ketika sudah menjadi negara kecil-kecil secara geografis, keterbelahan pun
tetap nyata. Contoh Belgia, dimana saya pernah tinggal pada 2004-2008. Negara yang
luasnya sedikit lebih kecil dari Provinsi Jawa Barat dan berpenduduk 11,5 juta
jiwa ini, meski tidak terdistegrasi dalam bentuk negara, masyarakatnya terbelah
menjadi tiga yaitu masyarakat Belgia keturunan Perancis, Belanda dan Jerman. Karena
ada tiga kelompok masyarakat maka Bahasa nasionalnyapun tiga yaitu Belanda, Perancis
dan Jerman. Keterbelahan terlihat dalam keseharian seperti tampak dari pembagian
kuota jabatan di pemerintahan ataupun dari rambu-rambu lalu lintas. Di ibu kota
negara, Brussels, yang penduduknya gabungan masyarakat keturunan Perancis dan
Belanda, rambu-rambu lalu lintas ditulis dalam dua bahasa: Perancis dan Belanda.
Kita
pun bisa belajar dari contoh legendaris disintegrasi di Eropa karena perbedaan etnis
di era modern di Yugoslavia. Pada saat dipimpin Jenderal Josep Broz Tito,
Yugoslavia yang merupakan salah satu negara pendiri Gerakan Non-Blok adalah
negara yang disegani di Eropa. Namun sepeninggal Tito, pada 1995 Yugoslavia
pecah menjadi beberapa negara berdasar etnis yaitu Bosnia dan Herzegovina, Kroasia,
Kosovo, Montenegro, Macedonia Utara, Serbia dan Slovenia.
Menyadari
keterbelahan tersebut, sejak tahun 1970-an beberapa negara di Eropa menggagas
pembentukan organisasi supra nasional yang disebut Uni Eropa (UE). Melalui
perjalanan panjang, akhirnya secara rersmi UE terbentuk pada awal tahun 2000-an.
Dengan terbentuknyai UE maka negara-negara di Eropa yang menjadi anggotanya sepakat
menyerahkan sebagian kewenangannya ke UE, misalnya di bidang ekonomi,
perdagangan dan sosial budaya.
Dari berbagai
perspektif, tujuan pembentukan UE dapat dibaca adalah sebagai upaya untuk memperkuat
daya tawar dan posisi negara-negara Eropa di dunia internasional dalam menghadapi
persaingan global, khususnya menghadapi negara-negara besar seperti Amerika
Serikat dan Tiongkok (serta Indonesia). Di bidang ekonomi dan perdagangan misalnya,
salah upaya yang mereke lakukan membentuk pasar tunggal Eropa dan menyepakati
penggunaan mata uang tunggal Euro.
Pelajaran
berharga mengenai pentingnya mengelola keberagaman juga bisa didapat dari
negara-negara Arab yang berjumlah 22 negara. Meski memiliki agama, bahasa,
budaya dan fisik yang relatif sama, negara-negara Arab tersebut ternyata masing-masing
berdiri sendiri. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak bisa mengelola
keberagaman yang terdapat di antara mereka dan masing-masing mengedepankan suku
dan mazhab agama yang dianut.
Akibat
mendepankan suku dan mazhab agama maka
negara-negara Arab kerap berkonflik dan perang satu sama lain. Mereka kerap berupaya
menyamakan semua perspektif menurut pandangannya maing-masing. Setiap perspektif
yang berbeda dianggap musuh ketimbang mitra. Mereka melihat perbedaan lebih dari
sisi jeleknya, ketimbang sisi baiknya. Dampaknya mereka saling berlomba di
antara mereka sendiri untuk saling menghancurkan.
Contohnya
bisa dilihat dari konflik berkepanjangan di Suriah dan perang saudara di Sudan yang
membelah negara tersebut menjadi dua.
Belajar
dari negara-negara Eropa dan Arab, kita patut bersyukur bahwa Indonesia masih
kokoh sebagai NKRI dengan wilayah yang sangat luas. Kita patut bersyukur bahwa dengan luas
wilayah dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, dengan berbagai
macam suku, agama, dan ras, sejatinya Indonesia aalah sebuah negara besar dan kuat.
Dengan
bersyukur kita bisa merasakan nikmat Allah SWT, sebaliknya, jika mengingkari
maka nikmat tersebut akan dicabut (dinikmati orang/bangsa lain). Hal ini sejalan
dengan apa yang disebutkan
dalam Al Quran “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku
sangat berat.” (QS Ibrahim : 14:7) Karena itu mengelola
perbedaan keberagaman suku, agama, bahasa dan ras, menjadi kewajiban kita
bersama.
Untuk dapat mensyukuri nikmat dan agar bangsa
Indonesia tidak mengalami nasib seperti msyarakat di negeri-negeri yang
kehidupannya dipenuhi konflik sosial-politik maka kita harus pandai mengelola
keberagaman dan senantiasa belajar dari pengalaman yang ada, termasuk dari
negara-negara lain.
Kita mesti senantiasa menyadari bahwa keragaman,
di bidang apapun, memang pasti menimbulkan adanya perbedaan dan memunculkan
potensi konflik. Apabila tidak dikelola dengan baik, potensi konflik yang
mengemuka bisa melahirkan sikap ekstrem dalam membela tafsir klaim kebenaran
versi masing-masing kelompok yang berbeda.
Karena
itu pula kita patut berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pendiri
bangsa dan seluruh tokoh pemimpin nasional/daerah yang telah mewariskan pondasi
yang kuat bagi berdirinya bangsa dan negara yaitu Pancasila sebagai jalan hidup
bangsa Indonesia. Karenanya kita tidak perlu khawatir terhadap masa depan Indonesia
sepanjang kita memegang teguh Pancasila yang mempersatukan bangsa dan negara Indonesia.
Seperti
dikatakan Sukarno kepada Josep Broz Tito ketika berkunjung ke Yugoslavia April
1960 “Aku tidak khawatir (tentang Indonesia),
karena telah kuwariskan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia.”
Bekasi, 9 Mei 2021
Leave a Reply