Macet sudah menjadi menu sehari-hari bagi warga Jakarta dan sudah masuk tingkat yang sangat memprihatinkan. Penyebab utama kemacetan yang kian parah adalah meningkatnya volume kendaraan yang beroperasi, sementara penambahan kapasitas jalan tidak mencukupi. Tidak heran jika para pengguna jalan saling berebut menggunakan kapasitas jalan raya agar tidak terlambat tiba di tujuan.
Bagi masyarakat umum memang tidak ada pilihan lain selain berupaya sendiri untuk berebut lahan jalan dan memanfaatkannya semaksimal mungkin. Namun bagi pejabat ataupun orang yang mampu, upaya untuk berebut lahan jalan raya bisa menjadi lebih mudah dengan menggunakan jasa pengawalan menggunakan mobil/motor polisi (voorrijder). Mobil/motor polisi inilah membunyikan sirine untuk meminta pengguna jalan lain memberi jalan terhadap yang dikawalnya.
Dalam kaitan ini, pagi ini, saat melintas Stasiun Gambir saya menyaksikan ada 3 kendaraan pejabat dengan plat kendaraan bernomor B 3, RI 7 dan RI 17 yang melintas dengan menggunakan jasa pengawalan dua buah vorrijder yang menyalahkan sirene dengan sangat keras dan menyingkirkan kendaraan-kendaraan yang menghalangi kendaraan yang dikawalnya.
Di tengah kemacetan Jakarta, penggunaan voorrjider tentunya merupakan hal yang istimewa. Bagaimana tidak, ketika para pengemudi lainnya harus mengantri dan merayapi kemacetan, kendaraan yang menggunakan voorrijder bisa menyeruak di tengah kemacetan. Jika pemanfaatan voorrijder sesuai dengan ketentuan peraturan lalu lintas sebenarnya tidak masalah. Tapi yang bikin janggal sekaligus mengherankan, yaitu kendaraan vorrijder dipergunakan untuk mengawal kendaraan yang bukan prioritas utama yang wajib diberikan pengawalan menurut undang-undang yang berlaku. Bukan hal yang aneh jika beberapa kendaraan mewah ber-plat hitam juga menmggunakan voorrijder dan menyalakan sirine. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan mengenai siapa saja yang bisa memperoleh prioritas dalam menggunakan jalan raya?
Pada dasarnya semua orang mempunyai hak yang sama dalam berlalu lintas. Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Hak utama itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993.
Dalam Pasal 65 ayat 1 disebutkan, pemakai jalan wajib mendahulukan sesuai urutan prioritas sebagai berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas
b. Ambulans yang mengangkut orang sakit
c. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas
d. Kendaraan Kepala Negara (Presiden dan Wakil Presiden) atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara
e. Iring-iringan pengantar jenazah
f. Konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat
g. Kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.
Dari ketentuan yang tercantum dalam PP No. 43 tahun 1993 tersebut jelas siapa-siapa yang bisa mendapatkan perlakuan prioritas. Kita dapat memaklumi bahwa prioritas tersebut diberikan guna mempercepat kendaraan agar tiba di tujuan tepat waktu.
Untuk sekedar pembanding, di beberapa negara Uni Eropa (UE), khususnya dalam hal pemberian prioritas bagi pejabat, hal tersebut hanya diberikan kepada kepala negara/pemerintahan seperti raja/ratu atau perdana menteri serta tamu negara setingkat Kepala Negara/Pemerintahan. Kepada mereka diberikan voorrijder untuk memperlancar perjalanan. Adapun pejabat dibawahnya, termasuk wakil perdana menteri dan para menteri, tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan voorrijder. Saking tegasnya penerapan peraturan di jalan raya, terkadang memunculkan kekakuan dalam masalah keprotokolan.
Mengenai kekakuan pengaturan keprotokoleran, saya jadi teringat pengaturan bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat berkunjung ke Brussels, Belgia, pada akhir tahun 2006. Saat itu Pak JK sedang melakukan kunjungan kerja dalam rangka memenuhi undangan Sekjen Dewan UE, Javier Solana. Kalau di tanah air, sesuai peraturan Pak JK bisa memperoleh prioritas saat berlalu lintas. Namun tidak demikian halnya dengan di Belgia. Dalam ketentuan keprotokolan disana, kedudukan wapres dianggap sejajar dengan wakil perdana menteri atau menteri. Karena itu, Pak JK tidak berhak untuk mendapatkan prioritas. Meski telah dilobbi secara intensif, pemerintah Belgia bersikukuh menerapkan ketentuan protokoler tersebut. Akhirnya sampai saat Pak JK meninggalkan Brussels, tidak ada voorrijder resmi yang disediakan Pemerintah Belgia.
Alasan pihak protokol Belgia untuk tidak memberikan prioritas terhadap pejabat setingkat menteri karena sebagai host country dari Markas Besar UE, hampir setiap hari Brussels dikunjungi banyak pejabat tinggi negara termasuk para menteri, baik dari sesama negara anggota UE maupun non-UE. Kalau kepada mereka diberikan prioritas seperti penyediaan voorrijder, seberapa banyak tenaga dan kendaraan yang dibutuhkan. Meskipun Belgia termasuk negara yang memiliki GNP tinggi (sekitar US$ 35 ribu), namun dalam rangka efisiensi dan efektifitas tetap saja harus melakukan perhitungan anggaran dengan cermat. Belum lagi pemberian prioritas akan memacetkan jalan raya dan merugikan para pengguna jalan lainnya, yang notabene adalah para pembayar pajak.
Beruntung Indonesia tidak setiap hari menerima kunjungan kepala negara/pemerintahan atau menteri negara asing. Sehingga tidak setiap hari pula kita melihat pemandangan sebuah jalan raya ditutup karena ada pejabat tinggi atau tamu negara akan lewat. Namun demikian, hal tersebut bukan berarti membenarkan pemberian prioritas penggunaan jalan raya kepada siapa pun. Selain menimbulkan kejengkelan dan perasaan iri, memprioritaskan penggunaan jalan bagi mereka yang tidak berhak justru memperlihatkan sikap kesewenang-wenangan dan pengabaian hak-hak pemakai jalan lainnya.
Jangan heran pak, di negara kita ini masalah penegakan dan pelanggaran hukum memang masih abu-abu alias tidak jelas.
Keadilan sepertinya hanya sebatas slogan dan idealisme belaka walaupun terkadang memang dapat ditegakkan setidaknya menurut kaidah bahasa Indonesia baik dan benar (ayo bingung kan ???.. he he he..)