Jakarta 1 Juni 2011, waktu belum lagi menunjukkan pukul 9 pagi ketika saya melewati sebuah gedung berarsitektur Eropa di halaman Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di Jalan Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat. Tidak terlihat keramaian apapun di sekitar kawasan gedung ini. Sesekali hanya terlihat pegawai Kemlu melintas di jalanan depan gedung tersebut. Sementara di halaman gedung terlihat seorang tukan kebun sedang menyirami rerumputan yang tumbuh di halaman. Benar-benar tidak ada aktivitas apapun yang memperlihatkan bahwa gedung tersebut memiliki nilai sejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Padahal di gedung Dewan perwakilan Rakyat (Volksraad) yang dibangun sekitar tahun 1830 tersebut terjadi suatu peristiwa bersejarah pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu berlangsung rapat hari terakhir Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk membicarakan dasar negara Indonesia, sebuah negeri yang sedang dipersiapkan kelahirannya oleh BPUPKI. Di gedung inilah Soekarno berpidato dan menyampaikan gagasannya mengenai Pancasila yang menjadi dasar untuk mendirikan negara Indonesia, kekal , dan abadi.
Dengan penuh semangat dan berapi-api, Soekarno menyampaikan pidatonya mengenai lima dasar yang bisa dijadikan untuk membangun Indonesia merdeka yaitu kebangsaan atau nasionalisme, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Lima dasar yang disampaikan Soekarno tersebut merupakan cetak biru dan jati diri untuk mempersatukan segenap elemen bangsa serta menjadi dasar negara Indonesia, ideologi negara RI.
Berdasarkan notulen rapat, pidato Soekarno mendapat tepuk tangan yang “riuh”, “riuh rendah” dan “menggemparkan”. Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Soekarno itu berisi “Lahirnya Pancasila,” dan “telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang ada dibawah pengawasan keras dari Pemerintah Balatentara Jepang”.
Dalam sejarahnya, peristiwa tanggal 1 Juni 1945 tersebut kemudian diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara. Namun dalam sejarahnya pula, meski Soekarno kemudian ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila berdasarkan pidato yang diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, tidak serta merta nilai-nilai Pancasila diterima oleh seluruh komponen bangsa. Ada saja yang berupaya mendongkel dasar dan ideologi Pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain yang sesuai dengan kepentingan golongan dan agama.
Untuk menghadapi hal tersebut di atas, para founding fathers dan pemimpin negeri ini terus berupaya menanamkan semangat cinta tanah air dan upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara konsekuen dalam kehidupan bernegara.
Mengenai hal ini saya jadi teringat masa-masa sekolah dulu, ketika upaya menanamkan semangat cinta tanah air dan nilai-nilai Pancasila dimulai dari sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan ketika memasuki dunia kerjapun masih terdapat upaya-upaya memperdalam nilai-nilai Pancasila. Tidak heran jika anak-anak usia sekolah pada saat itu dapat dipastikan hapal sila-sila Pancasila. Dan saking intensifnya kegiatan yang dilakukan, muncul pandangan bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari proses indoktrinasi untuk kepentingan rejim yang berkuasa.
Kini di era reformasi, Pancasila tidak lagi intensif diperkenalkan kepada anak-anak sekolah. Bahkan disinyalir mata pelajaran Pancasila tidak lagi diajarkan di sekolah dan digantikan dengan mata pelajaran kewarganegaraan. Tidak heran jika banyak anak muda yang tidak lagi hapal bunyi sila-sila Pancasila. Dalam beberapa kesempatan acara kuis di televisi misalnya, ketika seorang peserta diminta untuk menyebutkan salah satu butir Pancasila, si peserta hanya bisa cengengesan tanpa bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. Begitu pun ketika saya bertanya kepada beberapa murid sekolah menengah pertama dan atas, banyak yang gelagapan ketika diminta menyebutkan sila-sila Pancasila. nah jika bunyi sila-sila Pancasila saja tidak hapal, bagaimana dengan isi dan penjabarannya?
Sebenarnya bukan salah mereka jika tidak lagi mengerti Pancasila. Di era reformasii, Pancasila tampaknya bukan lagi dasar dan ideologi negara yang mesti diajarkan di sekolah. Sementara di masyarakat, Pancasila tidak lagi dipraktekkan dan dicontohkan dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang dirayakan setiap tahunnya, tapi tidak lebih dari sekedar seremonial. Lihat saja ketika berlangsung peringatan nasional Hari Lahir Pancasila, para pemimpin negara yang hadir pada acara tersebut mestinya bisa memberikan teladan, misalnya dengan bersalaman satu sama lain.
Pancasila kini berada di zaman edan kata Daoed Joesoef mantan Menteri pendidikan di era Soeharto dalam opininya di Kompas tanggal 1 Juni 2011 ini. Nilai-nilai Pancasila telah direduksi sedemikian rupa sehingga menyandera Pancasila itu sendiri. Sebagai contoh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kita biarkan direduksi menjadi Keagamaan Yang Maha Esa dan ukuran ”keesaan” itu adalah besarnya jumlah penganut. Kita biarkan penguasa negara melakukan pembiaran terhadap pemaksaan dari kelompok-kelompok yang mengklaim berstatus mayoritas.
Dalam konteks ini saya kemudian melihat Pancasila sebagai sosok yang kesepian dan tersandera dalam makna yang terbatas. Sama sepinya dengan Gedung di Pejambon yang saya lihat pagi ini, yang meski kemudian dinamakan sebagai Gedung Pancasila, namun tidak pernah secara rutin gedung ini digunakan untuk mendalami dan memaknai sila-sila dalam Pancasila sebagai pegangan individual dan kolektif dalam menempuh kehidupan bermasyarakat.
Leave a Reply