Bagi penggemar sepak bola, nama pesepak bola Brasil Pele yang memiliki nama asli Edson Arantes do Nascimento bukanlah nama yang asing. Pele yang lahir di Tres Coracoes, negara bagian Minas Derais pada 23 Oktober 1940 dan meninggal dunia pada 30 Desember 2022 di Sao Paulo merupakan salah satu atlet sepak bola terbaik sepanjang masa dan disukai banyak orang, termasuk warga masyarakat Aceh, Indonesia.
Salah seorang warga Aceh yang menyukai Pele adalah Mudasir, seorang petani miskin di sebuah kampung pesisir barat Aceh. Ia didakwa telah mencuri seekor sapi milik seorang pengusaha peternakan bernama Haji Sulaeman.
Ketika diminta Ketua Majelis Hakim untuk menerangkan peristiwa yang sebenarnya terjadi dan alasan memberikan nama Pele kepada sapi yang dianggap miliknya, Mudasir menjawab: “Iya benar Yang Mulia, saya membawa sapi tersebut dari peternakan milik Haji Sulaeman, tapi saya tidak mencuri karena itu si Pele, sapi milik saya”.
“Kenapa diberi nama Pele?,” tanya Ketua Majelis Hakim
“Karena saya mengidolakan Pele, pemain sepak bola dari Brazil,” jawab Mudasir
Dialog di atas merupakan cuplikan cerita film pendek “Keadilan Sang Hakim” yang ceritanya ditulis D.Y Witanto, seorang Hakim Yustisial di Mahkamah Agung. Cerita tersebut diambil dari kisah nyata yang terjadi di Sabang, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu.
Pada saat itu Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Sabang tengah menyidangkan terdakwa bernama Mudasir yang didakwa telah mencuri seekor sapi milik seorang pengusaha peternakan bernama Haji Sulaeman.
Majelis Hakim yang terdiri dari seorang Ketua dan dua orang anggota terlihat kesulitan untuk membuktikan dan memastikan kepemilikan sapi. karena baik Haji Sulaeman maupun Mudasir mengaku bahwa sapi tersebut miliknya.
Di tengah kesulitan tersebut, Ketua Majelis Hakim kemudian memiliki ide untuk melakukan pembuktian dengan mengikutsertakan Pele.
Pada waktu yang ditetapkan, Ketua Majelis Hakim mengajak Jaksa, Pengacara, Panitera, Saksi, Terdakwa dan Pele ke sebuah tanah lapang. Ketua Majelis Hakim kemudian meminta terdakwa untuk berdiri 20 meter di sisi sebelah kanan sapi dan Saksi (haji Sulaeman) dengan pegawainya berdiri 20 meter di sisi sebelah kiri.
Setelah Pele dilepaskan di lapangan, Ketua Majelis Hakim kemudian meminta Terdakwa dan Saksi untuk memanggilnya dengan kebiasaan masing-masing.
Saksi memanggil sapi dengan “Suit Suit,” sedangkan Terdakwa Mudasir memanggil sapi tersebut “Pele, Pele”.
Ketika sapi dipanggil “suit suit” oleh Saksi, sapi tersebut diam saja. Namun ketika sapi tersebut dipannggil “Pele Pele” oleh Terdakwa, sapi tersebut kemudian memberikan reaksi. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, saat melihat Mudasir sapi itu langsung bergerak mendekat ke arah Mudasir. Perlahan-lahan tapi pasti, sapi tersebut terus berjalan menuju ke arah Mudasir yang sedang memanggil dengan panggilan Pele. Saat sampai di hadapan Mudasir sapi tersebut kemudian menggosokgosokan kepalanya di tubuh Mudasir dan Mudasir membalasnya dengan belaian di kepala sapi tersebut.
Berdasarkan fakta dan temuan di lapangan, dengan bulat Majelis Hakim memutuskan untuk membenarkan pernyataan Terdakwa dan karenanya memutuskan Terdakwa tidak bersalah serta memerintahkan untuk mengembalikan barang bukti yaitu seekor sapi dan tambang pengikatnya kepada Terdakwa.
Keputusan Majelis Hakim untuk membebaskan Terdakwa dengan mempertimbangkan perilaku hewan bukan untuk mengenyampingkan pernyataan para pihak, tetapi merupakan salah satu ikhtiar mencari kebenaran materil dari pengakuan para pihak. Majelis Hakim menggunakan kearifan lokal untuk mengumpulkan fakta di lapangan dengan mengetahui hubungan antara manusia dan hewan peliharaannya.
Majelis Hakim berpandangan bahwa kedekatan hubungan manusia dengan hewan peliharaannya tidak terbangun dalam semalam, melainkan melalui proses yang panjang dan lama. Dari pengakuan Terdakwa di persidangan diketahui bahwa hubungan Mudasir dengan sapinya sudah berlangsung empat tahun.
“Empat tahun yang lalu saya diberikan bantuan seekor anak sapi dari Dinas Peternakan, saya sangat senang karena sejak dulu ingin sekali memiliki sapi. Setiap hari si Pele saya bawa ke kebun dan saya mandikan di sungai,” begitu pengakuan Mudasir di persidangan tentang hubungan dirinya dengan sapi peliharaannya.
Kedekatan hubungan Terdakwa dengan sapinya terbukti di lapangan, ketika Mudasir memanggil “Pele Pele” dan si sapi mendekat. Terbukti pula bahwa pernyataan Terdakwa di persidangan disampaikan dengan sebenar-benarnya. Karenanya tidak keliru apabila Majelis Hakim kemudian memutuskan bahwa Terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari tuduhan berdasarkan keadilan.
Di tengah munculnya pemberitaan penangkapan seorang Hakim Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini, kehadiran film pendek “Keadilan Sang Hakim” yang diproduksi oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA) merupakan suatu langkah terobosan dalam mempromosikan dan memperkuat citra positif hakim di masyarakat. Pada saat bersamaan juga mengenalkan kembali nilai-nilai Pancasila ke masyarakat.
Promosi citra positif hakim dalam “Keadilan Sang Hakim” dan nilai-nilai Pancasila dilakukan dengan narasi sederhana tanpa terkesan menggurui. Selain lambang Garuda Pancasila di ruang Pengadilan, tidak ada satupun dialog yang menyebutkan mengenai Pancasila.
Melalui cerita yang dibangun mengalir ringan sejak awal, penonton tanpa sadar diajak mengenal kembali nilai-nilai Pancasila dan aktualisasinya dalam tindakan melalui adegan-adegan di persidangan dan cara Majelis Hakim membuat keputusan.
Dari pembacaan irah-irah putusan hakim yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan adegan para Hakim berdoa sebelum mengambil keputusan, tampak bagaimana sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” diaktualisasikan di lingkup peradilan.
Adapun perwujudan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, tampak dari proses persidangan yang senantiasa menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Hakim antara lain tidak memandang status sosial Terdakwa yang miskin ataupun Saksi yang merupakan pengusaha peternakan dalam membuat keputusan, namun berdasarkan kebenaran materil yang didapat dari keterangan para pihak dan pembuktian di lapangan.
Sementara terkait sila ketiga, tampak dari sikap Hakim yang melaksanakan persidangan tanpa membeda-bedakan para pihak karena suku dan agama.
Sila keempat tampak suasana rapat internal Majelis Hakim sebelum mengambil keputusan. Ketua Majelis Hakim dan para anggotanya bermusyawarah, saling mendengarkan pandangan masing-masing, sebelum membuat keputusan.
Sila kelima tampak dari keputusan yang mengedepankan rasa keadilan. Karena Terdakwa tidak terbukti bersalah, maka adil apabila ia dibebaskan.
Secara keseluruhan, film pendek ini sangat layak ditonton, bukan saja bagi mereka yang berkecimpung di lingkungan peradilan, tetapi juga masyarakat pada umumnya sebagai suatu bahan pembelajaran. Kita dapat belajar bahwa sebagai seorang pengadil, Hakim ternyata telah melaksanakan Pancasila dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apapun proses dan keputusan yang diambil Hakim, pada dasarnya mencerminkan cerminan dari sikap dan perilaku serta profesionalitas seorang Hakim.
Apresiasi layak disampaikan kepada BPIP dan MA yang telah menyelesaikan film pendek “Keadilan Sang Hakim” secara bergotong royong, mulai dari penulisan cerita hingga penggarapan di lapangan dan promosinya.
Film ini merupakan bentuk pembinaan ideologi Pancasila secara audiovisual yang dapat lebih menjangkau seluruh komponen bangsa, khususnya generasi muda.
Ke depannya diharapkan dapat lebih banyak lagi dibuat film-film pendek tentang dunia peradilan dengan berbagai permasalahannya yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pengkajian materi, pendidikan dan pelatihan, sosialisasi dan pembudayaan pembinaan ideologi Pancasila di lingkup peradilan. ***
Leave a Reply