Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk melarangan pengguna kendaraan bermotor roda dua melintas di Kawasan Bundaran HI hingga Medan Merdeka Barat, Jakarta ramai menjadi pro kontra. Ada yang mendukung karena kebijakan Pemprov DKI tersebut bisa membuat tertib dan lalu lintas tak semrawut. Ada yang menolak dengan mengatakan bahwa pelarangan motor masuk area sudirman thamrin itu bukan solusi tepat, karena sumber utama kemacetan adalah jumlah mobil dan motor yang meningkat terus secara pesat.
Di tengah pro dan kontra tersebut, sebagai perbandingan, ada baiknya kita melihat kebijakan yang diambil di kota-kota lain, misalnya di Beijing, dalam mengatasi kemacetan. Ibu kota Tiongkok yang memiliki luas 16.801 km2 ini (Jakarta hanya 740,3 km2) dan penduduk sekitar 21 juta jiwa serta jumlah kendaraan hingga akhir 2012 berjumlah sekitar 5,2 juta (data dari Beijing Traffic Management Bureau).
Dengan alasan untuk mengurangi pencemaran udara dan kemacetan lalu lintas, Pemerintah Kota Beijing melakukan pembatasan plat kendaraan bermotor sejak tahun 2011 dengan hanya mengeluarkan plat nomor kendaraan baru sebanyak 240.000 setiap tahunnya atau 20.000 per bulan. Nomor-nomor baru tersebut diberikan kepada pemohon kendaraan bermotor dengan sistem lotere dan tidak dapat dialihkan kepada pemohon lain. Jika nomor yang sudah didapat melalui lotere tidak dipergunakan dalam waktu 3 bulan maka nomor tersebut otomatis hangus. Dengan kebijakan tersebut Pemerintah Kota Beijing menargetkan jumlah kendaraan di Beijing pada tahun 2017 tidak lebih dari 6 juta.
Lalu bagaimana dengan pengguna kendaraan bermotor roda dua, apakah memerlukan plat nomor dan ijin mengemudikan kendaraan? Pemerintah Kota Beijing menerapkan kebijakan yang sama. Setiap kendaraan roda dua di atas 50 cc wajib memiliki plat nomor kendaraan dan ijin mengemudi. Khusus kendaraan bermotor roda 2, plat kendaraannya dibagi menjadi dua yaitu plat nomor kategori A (Jing A) dan B (Jing B).
Plat nomor Jing A menandakan bahwa kendaraan dapat digunakan di hampir semua tempat di Beijing, kecuali di dalam ring road 2 dan kawasan terbatas. Sementara plat nomor Jing B hanya dapat digunakan di luar ring road 4. Dengan perbedaan ini tidak mengherankan jika plat nomor Jing A jauh lebih mahal dan sulit mendapatkannya. Apalagi secara teknis, Pemerintah Kota Beijing saat ini sudah tidak lagi mengeluarkan plat nomor Jing A. Karenanya jika kita melihat kendaraan bermotor roda 2 di Beijing tanpa plat nomor, maka dapat dikatakan kendaraan tersebut ilegal.
Dengan kebijakan pembatasan pengeluaran plat nomor dan pengaturan wilayah serta waktu penggunaannya (misalnya penerapan nomor ganjil genap), Pemerintah Kota Beijing berhasil mengurangi kepadatan lalu lintas dalam kota dan relatif menjadi lebih tertib serta tidak ada kepadatan lalu lintas yang disebabkan kendaraan roda dua. Bahkan di jalan-jalan utama di dalam kawasan ring road 2 seperti di Chang An Street yang akan melintasi Tiananmen dapat dipastikan steril dari kendaraan bermotor roda dua.
Akhirnya melihat keberhasilan Beijing menerapkan kebijakan pembatasan dan pengaturan kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor roda 2, beberapa kota besar lainnya di Tiongkok seperti Shanghai dan Guangzhou pun kemudian menirunya dan mulai menerapkan kebijakan serupa.
Lalu bagaimana dengan Jakarta? Saya sependapat untuk kiranya bisa memulai kebijakan yang membatasi pengguna kendaraan bermotor roda dua yang dimulai dari bunderan HI hingga Medan Mereka Barat. Hanya saja memang perlu segera pula diikuti dengan penyediaan dukungan transportasi umum yang memadai seperti di Beijing. Di Beijing dukungan transportasi umum sangat bagus, mulai dari bis hingga kereta bawah tanah. Bis yang digunakan juga bagus, nyaman, tidak mogok apalagi terbakar di jalan, dan ongkosnya murah (hanya 40 sen Yuan untuk berlanggaranan atau sekitar 400 rupiah). Dengan dukungan transportasi umum yang baik, pengguna kendaraan bermotor yang tidak bisa melintas jalan yang dilarang bisa memiliki pilihan lain.
Leave a Reply