Di tengah suasana
wabah Covid-19 dan Ramadhan, banyak kegiatan institusi pemerintah dan swasta terpaksa
dilakukan dari rumah, termasuk rapat-rapat dan diskusi dengan menggunakan
berbagai aplikasi online (daring) seperti Zoom, Skype atau Jinsit. Dari sekian
banyak kegiatan daring yang dilakukan tersebut, salah satu kegiatan yang sempat
saya ikuti adalah diskusi daring bulan Ramadhan yang diselenggarakan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 7 Mei 2020.
Kegiatan yang
berjudul “Kamis Bersama BPIP: Sila ke-5 Pancasila Perspektif Ayat-ayat Makkiyah”
menampilkan narasumber tokoh bangsa Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif atau yang
akrab dipanggil Buya Syafii Ma’arif, yang juga salah seorang anggota Dewan
Pengarah BPIP.
Di ruang
diskusi daring menggunakan Zoom, saya melihat sekitar 85
orang peserta diskusi dari berbagai daerah di Indonesia dan seorang di
antaranya dari New Delhi, India. Selain menggunakan Zoom, kegiatan tersebut
juga distreaming melalui channel Youtube BPIP.
Bagi saya, tema
sila-5 Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan isu
yang menarik karena terkait fakta bahwa keadilan sosial
merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Seringkali masalah
keadilan sosial menjadi pemicu terjadinya ketegangan sosial yang disebabkan
ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan hukum.
Mengawali diskusi Buya Syafii Ma’arif menyampaikan pentingnya mencapai
tujuan keadilan sosial dalam kehidupan Indonesia merdeka, terlebih hingga lebih
dari 74 tahun Indonesia merdeka, Indonesia masih belum bisa mewujudkan keadilan
sosial tersebut.
Untuk membahas keadilan sosial, Buya Syafii Ma’arif kemudian merujuk
tiga ayat Al Quran yang yang diturunkan di kota Mekkah sebelum Rasulullah SAW
hijrah ke Madinah (disebut sebagai ayat Makkiyah) yaitu Al-Balad (negeri),
Al-Humazah (suka mengumpat) dan Al-Ma’un (orang-orang suka menolak memberikan
pertolongan).
Surat Makkiyah biasanya memiliki ciri-ciri yang berhubungan dengan
keimanan, ancaman, pahala, serta kisah-kisah dari para umat terdahulu. Setiap
surat Makkiyah berisi mengenai kisah-kisah para nabi serta umatnya terdahulu dan
mengajarkan tentang ajakan tauhid, ajakan beribadah hanya kepada Allah SWT,
pembuktian akan kenabian, hari kiamat, hari pembalasan dan hari kebangkitan,
serta berisi tentang keadaan neraka dan surga. Surat Makkiyah juga banyak
menceritakan tentang orang-orang munafik dan masalah yang disebabkan oleh
orang-orang munafik tersebut.
Sesuai ciri-ciri ayat Makkiyah, ketiga ayat Makkiyah yang disampaikan
Buya Syafii Ma’arif menceritakan mengenai situasi masyarakat Qurays Makkah pada
saat itu yang didominasi oleh sekelompok oligarki penguasa ekonomi tapi tidak
punya kepedulian terhadap kaum yang lemah dan memberlakukan orang-orang miskin
secara tidak manusiawi melalui perilaku perbudakan.
Untuk menegakkan keadilan, kemanusiaan, persamaan tanpa memandang suku
ataupun agama maka turun Firman Allah “… dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan
kejahatan), tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? Dan tahukah
kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan
perbudakan (hamba sahaya)…” (QS Al Balad).
“Terhadap orang tidak
beragamapun tetap harus disantuni, ini pesan Al Quran,” begitu komentar Buya Syafii
Ma’arif.
Selanjutnya Buya menjelaskan
ayat QS Al Humazah yang berbunyi “Celakalah
bagi orang yang mencaci maki, yaitu orang-orang yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya.” Ayat tersebut menggambarkan hal yang terjadi di Mekkah pada saat itu yang
membuat Rasullulah SAW berpikir dan risau sehingga diberi petunjuk oleh Allah
yang maha Esa bahwa Allah SWT mengajarkan tentang kesatuan ummat manusia,
adapun berbeda agama itu adalah lumrah.
Merujuk QS Al Humazahm Buya
Syafii Ma’arif berpandangan bahwa orang yang hanya mengumpulkan harta dan kemudian
hanya menghitung-hitungnya untuk diri sendiri tetapi tidak memperhatikan
masyarakat, itu imannya tidak beres.
Menurut Buya Syafii Ma’arif,
Islam bukan anti kekayaan, Islam adalah pembela orang miskin tetapi pada waktu
yang sama kemiskinan itu harus lenyap dimuka bumi yaitu adanya kewajiban
membayar zakat, “wa’atu zakat” itu
artinya orang Islam tidak boleh miskin, kemiskinan itu harus bersifat
sementara.
“Dalam Islam tidak ada
perintah menerima zakat, yang ada adalah perintah mengeluarkan zakat. Dalam
prakteknya, tidak sedikit ummat Islam terjebak dalam kemunafikan. Di satu satu
sisi sholatnya rajin, naik haji berkali-kali, tapi tidak punya kepedulian
kepada fakir-miskin. Sementara pada praktek bernegara, fakir-miskin yang
semestinya dipelihara oleh negara, tapi justru belum memperoleh perhatian yang
serius,” begitu tegas Buya Syafii Ma’arif.
Ditambahkan oleh Buya Syafii
Ma’arif bahwa sesuai bunyi QS Al-Ma’un, orang-orang yang mendustakan agama
adalah mereka yang menghardik anak yatim dan enggan menolong atau memberi makan
orang miskin. Artinya, siapapun yang suka berbuat kasar kepada anak yatim dan
tidak memiliki kepakaan terhadap yang miskin, mereka itulah hakekatnya golongan
yang mendustakan agama.
Pada titik inilah, Buya Syafii
Ma’arif menegaskan keselarasan ketiga ayat-ayat dalam Al Quran tersebut dengan
nilai-nilai Pancasila. Kiranya ummat Islam memiliki landasan syar’iah yang kuat
untuk mewujudkan sila “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Merealisasikan sila ini memang bukan pekerjaan mudah, tentu membutuhkan upaya
yang keras dengan cara setiap pribadi harus mampu menjadi teladan bagi yang
lain.
Karena itu dengan tegas Buya
Syafii Ma’arif meminta agar pemimpin tidak boleh bertopeng-topeng, berpura-pura
pintar, pura-pura dermawan tapi korupsi. Pemimpin tidak hanya mengumbar jargon
kata “Pancasila” semata tanpa berbuat yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Kita harus terus berbuat,
kita perbaiki mental kita, kita hidupkan hati nurani kita, kita hidupkan budi
pekerti kita, kita hidupkan rasa pemihakan kita kepada orang miskin,” seru Buya
Syafii Ma’arif.
Buya Syafii Ma’arif berharap
Indonesia kekal sampai hari kiamat dengan syarat para pemimpin harus memiliki
kepekaan. Ia mengajak agar di bulan Ramadan kita semua melakukan introspeksi
dengan bertanya dan memeriksa diri kita sendiri, sampai dimana keimanan kita,
sampai dimana fungsinya iman kita. Dalam perintah agama diterangkan bahwa
“jadikan sholatmu untuk mengingat Allah SWT” dan “sholat mencegah perbuatan
keji dan mungkar,” sehingga perbuatan yang merusak seperti korupsi, merusak
alam karena itu termasuk perbuatan yang mungkar.
Selanjutnya Buya Syafii
Ma’arif mengajak kepada seluruh ummat untuk bersama-sama melaksanakan taubat
nasional, karena seperti hadits Rasullulah SAW yang berbunyi ”kamu hanya bisa
ditolong dan dimenangkan oleh bantuan orang-orang duafa yaitu yang lemah
diantara kamu.” Buya Syafii Ma’arif merujuk hadits tersebut karena jumlah orang-orang
lemah jumlahnya sangat besar (di Indonesia). Kategori miskin yang
penghasilannya 2 dolar atau 30 ribu rupiah per hari, jumlahnya besar sekali.
Buya Syafii Ma’arif dengan
jelas mengungkapkan bahwa praktek ekonomi di negeri ini memang masih
menunjukkan kesenjangan yang berakibat pada terjadinya distorsi bahkan amat
bertentangan dengan sila kelima. Kesenjangan makin melebar karena praktek
ekonomi yang terjadi lebih mengedepankan aspek kapitalistik.
“Keadilan sosial tidak
mungkin terealisasi sepanjang praktek kapitalisme merajalela di negeri ini,”
tegas Buya Syafii Ma’arif.
“Namun kita jangan pesimis. Karena
untuk menjadi pribadi Muslim yang baik, kita justru harus menghadirkan
optimisme untuk mewujudkan sila kelima Pancasila,” Tambah Buya Syafii Ma’arif.
Buya Syafii Ma’arif mellihat
bahwa saat ini kita masih lalai dalam mewujudkan keadilan sosial berdasarkan
Pancasila. Karenanya sekarang saatnya untuk menajamkan pemahaman, kepekaan
terhadap agama, apapun agama dan kepercayaannya, dan bersatu kembali dalam
kemanusiaan. “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan,” ujar
Buya Syafii Ma’arif.
Sebagai penutup Buya Syafii Ma’arif mengingatkan bahwa kita
memiliki Pancasila yang bagus, namun demikian jangan dibiarkan Pancasila tergantung
di awan tinggi. Pancasila perlu diturunkan ke bumi, bersama-sama kita
mewujudkannya. Adalah tugas BPIP untuk menyadarkan bangsa ini untuk
melaksanakan Pancasila dalam arti yang benar, dalam arti yang konkrit, dalam
arti tegaknya KEADILAN SOSIAL.
Leave a Reply