Periode Awal Perkembangan Islam di Tiongkok

Makam Saad Abi WaqasMasyarakat Tiongkok sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang telah mencapai peradaban yang amat tinggi dan menguasai kekayaan ilmu pengetahuan. Sejak ratusan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tiongkok diketahui telah menguasai ilmu kesehatan tradisional, produksi kertas dan bubuk mesiu yang menjadi cikal bakal pembuatan bom atau senjata peledak seperti yang dikenal saat ini. Tidak mengherankan jika dalam upaya mengembangkan dan membangun Islam, Rasullulah Muhammad SAW pernah menyerukan kepada umatnya untuk belajar sampai ke negeri Tiongkok.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah sejak kapankah Islam masuk ke Tiongkok dan siapakah yang membawanya? Guna menjawab pertanyaan tersebut, para sejarawan melakukan serangkaian penelitian untuk memperoleh penjelasan dan bukti-bukti sejarah mengenai kehadiran Islam di Tiongkok. Dari sekian banyak penelitian sejarah yang dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan ahli sejarah kontemporer Chen Yuan terhadap dua buku yang berasal dari masa Dinasti Tang yaitu “Sejarah Tang” dan “Cefu Yuangui (Buku Pertunjuk)” (“Islam in China” oleh Mi Shoujiang dan You Jia, China Interncontinental Press, 2004)

Menurut Chen Yuan, dalam kedua buku tersebut dikatakan bahwa “Pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Gaozong Yonghui dari Dinasti Tang atau tahun 651 M, Khalifah ketiga Arab yang bernama Utsman (berkuasa pada tahun 644-656 M) mengirim utusan diplomatik ke Chang’an, ibu kota Tang, untuk melakukan kunjungan resmi kepada Kaisar Gaozong guna memperkenalkan kekhalifahan dan adat istiadatnya serta Islam”.

Dalam perkembangannya kemudian diketahui bahwa Islam masuk ke Tiongkok melalui jalur laut dan darat yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera. Jalur laut dimulai dari Teluk Persia dan Laut Arab melalui Teluk Bangladesh, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan hingga ke Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Delegasi pertama asal Arab yang singgah di Tiongkok melalui jalur sutera laut adalah utusan diplomatik dari Khalifah Utsman bin Affan yang dipimpin oleh paman Rasullulah Muhammad SAW yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqas. Utusan diplomatik ini berlabuh di pelabuhan Guangzhou (orang Arab menyebutnya Kanfu) pada tahun 651 M.

Sementara para pedagang Muslim yang memasuki Tiongkok lewat jalan darat,  melakukannya dengan menempuh perjalanan panjang mulai dari wilayah Barat (sebutan yang diberikan pada masa Dinasti Han bagi daerah di kawasan Xinjiang dan Asia Tengah) melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, pegunungan Tianshan dan koridor Hexi hingga ke Chang’an, ibu kota Tang. Menurut catatan yang terdapat dalam buku “Zi Zhi Tonb Jin” (sejarah sebuah kaca), pada masa Dinasti Tang tersebut terdapat lebih dari 4.000 pedagang asing melakukan kegiatan dagang di Chang’an.

Kedatangan utusan diplomatik dan misi dagang Muslim ke Tiongkok disambut baik oleh pemerintah dan masyarakat Tiongkok yang ingin membina hubungan antara pemerintah dan masyarakat “Kerajaan Tengah” (julukan untuk Tiongkok) dengan masyarakat luar. Keberadaan mereka pun sesungguhnya tidak mengagetkan masyarakat Tiongkok sudah mengetahui terlebih dahulu keberadaan Islam di Timur Tengah dan bahkan menyebut pemerintahan Rasullulah Muhammad SAW sebagai ‘Al-Madinah’, serta menyebut Islam dengan Yisilan Jiao, yang berarti “agama yang murni” dan menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu, Rasullulah Muhammad SAW.

Selain lewat para pedagang Arab dan Persia, dalam kurun waktu 148 tahun (651-798 M), Islam juga diperkenalkan oleh para tentara Arab yang datang ke Tiongkok karena diminta untuk membantu meredam pemberontakan yang kerap terjadi di masa-masa akhir pemerintahan Dinasti Tang pada sekitar tahun 755 M. Usai memadamkan pemberontakan, Kaisar Zongyun yang berkuasa saat itu mengijinkan para tentara Arab tinggal secara tetap.

Dalam perkembangannya pula, utusan diplomatik dan para pedagang Arab dan Persia serta para tentara yang memilih untuk menetap di Tiongkok ini, setelah menikah dengan wanita setempat, berkembang dan membentuk kelompok masyarakat sendiri yang tetap menjaga agama dan adat istiadat yang dibawanya.

Pendatang Muslim yang sudah menetap di Tiongkok ini kemudian dinamakan sebagai Zhu Tang (kurang lebih berarti “orang asing yang tinggal di Tiongkok”). Sedangkan keturunannya disebut sebagai Fan Ke (orang asing yang beragama Islam). Mereka tinggal di kota-kota besar dan pelabuhan sepanjang jalur komunikasi antar kota. Guna menjalankan syariat agama, mereka pun kemudian membangun tempat ibadah berupa masjid dan tinggal di kawasan sekitarnya. Salah satu masjid pertama yang dibangun dan hingga kini masih berdiri adalah masjid Huaisheng di Guangzhou yang dibangun pada masa Dinasti Tang.

Berada di kawasan padat penduduk, masjid Huaisheng masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagai tempat ibadah umat Muslim di Guangzhou. Beberapa bagian masjid seperti menara dan pintu gerbang yang sudah berusia ratusan tahun terlihat masih utuh, sedangkan bangunan utama masjid sudah mengalami perbaikan dari waktu ke waktu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *