Seminggu ke depan sepertinya akan menjadi pekan tersibuk bagi para Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN, selain dihadapkan pada kegiatan rutin Pertemuan Menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting), mereka juga menyelenggarakan pertemuan dengan para Menlu negara mitra wicaranya yaitu Menlu China Yang Jiechi, Menlu Jepang Takeaki Matsumoto dan Menlu Korea Selatan Kim Sung-hwan dalam pertemuan ASEAN Plus Three, 10 Menlu mitra wicara ASEAN seperti Menlu AS Hillary Clinton, Menlu Rusia Sergey Lavrov, Menlu Polandia (mewakili Presidensi Uni Eropa) Radislow Sikorski dalam ASEAN Post Ministerial Conference Plus One dan 17 Menlu non-ASEAN anggota ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Pertemuan ARF di Bali, 16-23 Juli 2011.
Sejumlah agenda pertemuan disiapkan dan dibahas mulai tingkat pejabat senior (Senior Official Meeting) hingga tingkat menteri. Permasalahan yang dibahas pun beragam, mulai dari konflik perbatasan, Laut China Selatan (LCS), demokratisasi dan perlindungan HAM, ketahanan pangan, energi, ekonomi dan perdagangan, pembangunan berkelanjutan, penanganan bencana alam, lingkungan hidup, perubahan iklim, terorisme, hingga kejahatan lintas batas. Dari padatnya agenda pertemuan dan banyaknyan isu yang dibahas, pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah apakah pertemuan ASEAN tersebut akan mampu menghasilkan sejumlah kesepakatan konkret di tengah perkembangan kawasan yang penuh ketidakpastian?
Kekhawatiran bahwa pertemuan hanya akan menghasilkan sejumlah dokumen sidang dan tanpa ada tindak lanjut juga disadari oleh para peserta pertemuan, termasuk Menlu RI Marty Natalegawa yang memimpin sebagian besar pertemuan selaku Ketua ASEAN 2011. Dalam acara media briefing menjelang pelaksanaan pertemuan ASEAN di kantornya di Pejambon (14 Juli 2011) Menlu Marty menjamin bahwa Indonesia akan lebih mengupayakan produk kesepakatan dan kerja sama nyata yang memberikan solusi.
Menyikapi beragamnya permasalahan yang dihadapi ASEAN, Menlu RI Marty juga mengatakan bahwa segala permasalahan yang berada di kawasan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Tidak ada pilihan lain bagi ASEAN selain menghadapi permasalahan yang ada dan menawarkan satu realitas pilihan kerja sama yang konkret. Indonesia dan ASEAN tidak menginginkan setiap negara ASEAN mencari penyelesaiannya secara sendiri-sendiri, karena hal tersebut beresiko mengganggu stabilitas kawasan. Untuk itu diperlukan upaya untuk merangkul semua pihak untuk bekerjasama.
Dari pernyataan Menlu Marty, kita dapat melihat bahwa dalam upaya membentuk suatu Komunitas ASEAN 2015, masih banyak hal yang perlu dibahas dan dikerjakan secara intensif dalam mengintegrasikan ASEAN. Upaya pembentukan Komunitas ASEAN saat ini masih berada dalam tahapan awal dari implementasi Piagam ASEAN sehingga masih banyak ketentuan dan peraturan yang masih harus dirumuskan bersama. Battle of ideas masih terus berlangsung dalam pembahasan kesepakatan-kesepakatan pokok yang nantinya dituangkan dalam ketentuan, aturan dan segala pelaksanaan kebijakanya.
Karena itu kehadiran penuh para Menlu ASEAN (kecuali Menlu Thailand Kasit Piromya yang demisioner) dan para mitra wicaranya di Pulau Dewata tentu saja bukan sekedar kumpul-kumpul dan bersantai. Kehadiran mereka sangat penting untuk memperlihatkan bobot politik bagi ASEAN dalam pembahasan sejumlah agenda kerjasama kawasan ditengah beragam persoalan yang tengah dihadapi ASEAN dan mitra wicaranya.
Kehadiran para mitra wicara ASEAN seperti dari AS, Rusia, China, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Australia, Kanada, Selandia Baru dan India, akan memberikan kesempatan bagi ASEAN mencari pemecahan masalah secara konstruktif di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Pemecahan masalah yang konstruktif dan tepat menjadi hal penting di tengah ketidakpastian perkembangan di kawasan.
Melalui pertemuan ASEAN di Bali dilakukan pemetaan masalah, peredaan konflik yang tengah berlangsung, dan pada saat yang bersamaan menyiapkan perangkat penyelesaian masalah. Kehadiran para menlu dari negara-negara besar seperti AS, Rusia dan China dimanfaatkan untuk mengubah potensi konflik menjadi peluang kerja sama yang kreatif. Kini bukan waktunya lagi untuk mencurigai secara berlebihan kehadiran mereka di kawasan dan mendominasi pertemuan dengan agenda mereka serta memandang ASEAN tidak memiliki posisi tawar yang memadai.
Kemampuan ASEAN menghadirkan para pihak yang berkonflik dalam suatu forum justru memperlihatkan kemampuan ASEAN dalam menciptakan keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) di kawasan. ASEAN memperlihatkan kemampuannya untuk mengelola potensi konflik agar tidak meluas dan pada saat yang bersamaan membangun pemahaman melalui pendekatan persuasif dan dialog serta menawarkan solusi yang tepat.
Dalam kasus konflik di LCS misalnya, untuk meredam potensi konflik akibat provokasi negara-negara yang memiliki klaim wilayah di LCS (claimant countries), mereka dapat menggunakan kerangka penyelesaian menggunakan The Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)yang ditandatangani tahun 2002. Dengan demikian penyelesaian konflik tidak lagi dimulai dari nol, tetapi bisa dilakukan dengan menindaklanjuti DOC dan menyusunnya dalam suatu guidelines.
Penggunaan DOC untuk meredam potensi konflik di LCS memperlihatkan peran ASEAN, dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti AS, Rusia dan China dan kemampuannya berinteraksi tanpa membuat negara-negara tersebut mendominasi kepentingan dan mempengaruhi arus utama kerja sama di kawasan. Dalam konteks inilah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa upaya mengelola hubungan baik menjadi kata kunci bagi ASEAN dalam menjawab tantangan yang dihadapi dan ketidakkepastian di kawasan.
Bagi Indonesia sendiri, pencapaian seperti tersebut di atas memperlihatkan keberhasilan diplomasi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. Keterlibatan negara-negara besar seperti AS, Rusia, China dan India dalam suatu forum seperti KTT Asia Timur (east Asia Summit) merupakan keberhasilan hajatan politik internasional ditengah momentum perubahan arsitektur baru kawasan di Asia Tenggara yang harus dimanfaatkan dengan baik. Pertemuan ini bisa menjadi salah satu tahapan penting bagi kapasitas ASEAN dan Keketuaan Indonesia dalam memberikan solusi nyata yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sudah saatnya ASEAN berdiri di atas kaki sendiri..