Ada yang menarik dari sesi press briefing kunjungan Presiden SBY ke RRT pada tanggal 24 Maret 2012 yaitu pernyataan Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun dan tanggapan SBY terhadap pernyataan tersebut.
Dalam pertemuan yang berlangsung di salah satu ruangan di hotel tempat SBY dan anggota delegasi menginap, Rikard Bagun mengungkapkan mengenai fenomena keberhasilan pembangunan di Indonesia yang di satu sisi mendapat pujian dari dunia internasional, namun di sisi lain keberhasilan tersebut ternyata tidak diikuti dengan kesadaran kolektif masyarakat di dalam negeri untuk memanfaatkan berbagai pengakuan internasional, tetapi justru cenderung melecehkan diri sendiri dan meremehkan berbagai keberhasilan yang telah dicapai.
Menurut Rikard Bagun, sambutan dan penerimaan hangat dari seluruh pemimpin tertinggi RRT (Presiden, Perdana Menteri dan Ketua Parlemen), pemberian gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Tsinghua, serta undangan kepada 100 pemuda Indonesia ketika kunjungan kenegaraan Presiden RI SBY ke Beijing, 22-24 Maret 2012, menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia sangat diperhitungkan di dunia internasional di bidang politik dan ekonomi, termasuk pula peran serta pemuda yang akan menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Panggung diplomasi sangat besar dan karpet merah yang digelar saat kunjungan kenegaraan SBY memperlihatkan besarnya perhatian Pemerintah RRT terhadap keberhasilan dan peran Indonesia, di tingkat nasional, regional maupun global, pada saat ini dan di masa depan. Sambutan hangat tersebut melengkapi berbagai pengakuan dunia internasional sebelumnya mengenai keberhasilan Indonesia sebagai negara demokratis yang mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di forum multilateral, Indonesia sangat diakui peranannya seperti di ASEAN, East Asia Summit, G-20 APEC, maupun forum multilateral lainnya dalam kerangka PBB.
Ditambahkan oleh Rikard Bagun, sayangnya pengakuan dunia internasional tersebut tampaknya tidak diikuti dengan kesadaran kolektif di dalam negeri bahwa keberhasilan Indonesia saat ini dibawah kepemimpinan SBY adalah keberhasilan bersama masyarakat Indonesia. Dan pengakuan dunia internasional terhadap Indonesia semestinyalah dijadikan modal berharga untuk bersama-sama membangun Indonesia dan berdiri tegak di antara masyakarat bangsa-bangsa lain.
Dan salah satu penyebab munculnya sikap sinis masyarakat adalah karena peran media massa yang jauh lebih banyak menonjolkan sisi-sisi buruk pemerintahan dan sikap berpolitik yang belum dewasa. Karena itu menurut Rikard Bagun, diperlukan adanya kesadaran kolektif dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menyebarluaskan berbagai keberhasilan pembangunan ke masyarakat luas, termasuk ke elit politik, agar tercipta kesadaran berbangsa secara kolektif dan iklim demokrasi yang sehat.
Menanggapi pernyataan tersebut di atas, SBY menyambut baik permasalahan yang diangkat Kompas sebagai salah satu media terbesar di tanah air. SBY berharap media dapat berperan dalam menyampaikan dan menyebarluaskan informasi secara objektif guna membangun politik nasional yang cerdas, jernih dan bermartabat.
Diakui oleh SBY bahwa memang masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan pembangunan saat ini dan belum bisa memuaskan semua pihak, namun kita juga mesti jujur bahwa banyak pula keberhasilan yang telah dicapai, baik nasional, regional maupun global. Karena itu, diharapkan oleh SBY bahwa masyarakat Indonesia sebaiknya tidak meperolok-olok diri sendiri mengenai apa yang telah dicapai selama ini. Keberhasilan yang telah dicapai dan pengakuan dunia internasional hendaknya bisa dijadikan penyemangat dan pendorong pelaksanaan pembangunan menjadi lebih baik lagi dan memperbaiki hal-hal yang masih kurang.
Pernyataan Rikard Bagun dan tanggapan SBY tentu saja menarik karena setidaknya merefleksikan mengenai dua hal yaitu peran media dan kesadaran kolektif berbangsa masyarakat Indonesia.
Mengenai peran media, bukan rahasia lagi jika media massa di Indonesia sangat rentan untuk dipengaruhi oleh kepentingan si pemilik modal. Sedikit sekali media massa yang benar-benar menyuarakan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Media massa di Indonesia justru terlihat lebih sebagai corong politik si pemilik modal. Tidak heran, jika si pemilik modal tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, maka berita-berita yang muncul di media massa pun adalah berita-berita yang bukan sekedar mengkritisi tetapi menyerang dengan muatan politis. Akibatnya ketika masyarakat membaca dan mengikuti pemberitaan di media massa, maka yang ditemui sehari-hari adalah berita tentang konflik.
Di era demokrasi saat ini, apa yang dilakukan media massa sebenarnya sah-sah saja apalagi ternyata masyarakat pun lebih senang membaca dan mencari media yang memberitakan tentang konflik atau setidaknya gosip yang makin digosok makin sip. Hal ini jauh berbeda dengan pemberitaan di masa orde baru dimana kontrol media sangat ketat sehingga sedikit sekali diperoleh berita negatif tentang kinerja pemerintah.
Tentu saja kita tidak ingin kembali ke masa orde baru dengan kontrol pemberitaan yang sangat ketat, namun dari pernyataan Rikard Bagun tampak kegelisahan media besar seperti Kompas yang ingin tetap bersikap independen dan obyektif dalam menyampaikan berita dan informasi sesuai dengan amanat hati nurani rakyat. Membangun kesadaran berbangsa secara kolektif bukan hanya tugas media massa, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, terutama elit-elit politik yang diharapkan mampu memberikan tauladan kepada masyarakat luas.
Ketika pembangunan terus bergerak maju, maka nilai-nilai kebangsaan mestinya tidak lagi menonjolkan sikap primordial kedaerahan seperti yang terjadi saat ini. Setiap daerah berlomba-lomba untuk mengurus dan mengekploitasi daerahnya sendiri. Saran dan kebijakan dari Pemerintah Pusat dipandang sebagai campur tangan pusat terhadap urusan daerah. Jika hal ini terus berlangsung, bukan hal yang aneh jika suatu saat nanti akan muncul ketimpangan antara daerah yang kaya dan miskin karena tidak adanya kesadaran kolektif untuk saling menolong dan berbagi antar daerah.
Mengenai hal ini kita bisa belajar dari kesuksesan RRT membangun persatuan dan kesatuan bangsa sebagai hal yang utama dan didukung dengan pemeliharaan stabilitas politik dan keamanan dan melakukan pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Dan suasana politik nasional di RRT yang jauh dari kegaduhan sangat mendukung program pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.
Pemerintah RRT sangat disiplin dalam mengajarkan dan mengingatkan ideologi berbangsa dan bernegara kepada masyarakatnya, mulai dari anak usia sekolah hingga masyarakat dewasa. Pemahaman tentang ideologi berbangsa dan bernegara dilakukan secara terus menerus seperti pramugari menjelaskan penggunaan alat keselamatan penerbangan. Kalau kita pernah berpergian menggunakan pesawat udara, maka kita akan melihat setiap kali akan terbang, pramugari akan menjelaskan cara-cara penggunaan alat keselamatan penerbangan, tidak peduli penumpangnya sudah bolak balik naik pesawat terbang. Melalui cara ini, pemahaman tentang ideologi berbangsa dan bernegara terus tertanam di benak masyarakat luas.
Di Indonesia, sejak era reformasi, upaya menanamkan kesadaran ideologi berbangsa dan bernegara Pancasila dan simbol bernegara dan berbangsa seperti bendera, lagu kebangsaan dan tokoh pendiri bangsa, justru terlihat sangat mengendur. Di sekolah-sekolah misalnya, banyak sekolah yang tidak lagi mengadakan upacara bendera ataupun menggelar peringatan hari-hari nasional seperti hari Kebangkitan Nasional, hari Pendidikan Nasional, hari Pahlawan atau bahkan hari Kemerdekaan. Mirisnya lagi, bahkan ada suatu sekolah di suatu daerah yang mengharamkan penghormatan kepada bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Ke depan, jika hal-hal sepoerti tersebut di atas tidak segera dibenahi sesuai fungsinya masing-masing, bisa jadi bukan hanya kesadaran kolektif berbangsa yang benar-benar hilang, pengakuan dari dunia internasional pun hilang dan Indonesia akan dilecehkan, tidak lagi oleh diri sendiri tapi oleh dunia internasional.
Leave a Reply