Jumat 17 Agustus 1945 atau bertepatan
dengan 9 Ramadhan 1334 H merupakan tanggal penting dalam sejarah Republik
Indonesia. Pada tanggal ini, bertempat di halaman rumahnya Jalan Pegangsaan
Timur No. 56 Jakarta, Ir. Sukarno didampingi Mohammad Hatta membacakan teks
Proklamasi yang menyatakan bahwa Indonesia telah menjadi negara yang merdeka.
Pembacaan teks Proklamasi yang dilakukan
dalam suatu upacara sangat sederhana tersebut berhasil mengguncang dunia dan
Indonesia mendapat dukungan serta apresiasi dari berbagai penjuru dunia.
Meski beberapa saat sebelum pembacaan
teks Proklamasi, Bung Karno terkena gejala malaria tertiana, suhu badannya
tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun
konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, dengan suara mantap dan
jelas Sukarno membacakan naskah teks proklamasi yang digoreskan pada secarik
kertas.
“Seseorang memberikan buku catatan
bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis untuk sekolah. Aku
menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata
proklamasi di atas garis-haris biru itu,” tutur Bung Karno dalam “Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat” yang ditulis Cindy Adams (hlm 264).
Tidak langsung membacakan teks
proklamasi, Soekarno terlebih dahulu menyampaikan pidato pendahuluan singkat sebagai berikut:
“Saudara-saudara sekalian! saya telah
minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting
dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang
untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai
kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke
arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai
kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja
kita menyandarkan diri kepada mereka.
Tetapi pada hakekatnya, tetap kita
menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib
tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil
nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan
musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia,
permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya
untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami
menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI;
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Jakarta, hari 17
bulan 8 tahun 05. Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno/Hatta.
“Upacara itu tanpa protokol. Tidak ada
yang ditugaskan. Tidak ada acara yang berdasarkan rencana, karena memang tidak
ada acara. Perwira PETA senior, Latif Hendraningrat, masuk dan bertanya “Apakah
Bung Karno sudah siap?” Kami mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Aku
melangkah keluar. Di belakangku menyusul Hatta dan Fatmawati,” tutur Bung Karno
lebih lanjut (hlm 267)
“Upacara itu berlangsung sederhana. Tapi
apa yang kami rasakan kurang dalam kemegahannya, kami penuhi dalam harapan. Aku
berjalan ke pengeras suara hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan
singkat mengucapkan Proklamasi itu. Istriku telah membuat sebuah bendera dari
dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya
dengan tangan. Inilah bendera resmi yang pertama dari Republik. Tiang
benderanya berupa batang bambu panjang yang ditancaopkan ke tanah beberapa saat
sebelum itu. Buatannya kasat. Dan tidak begitu tinggi,” tutur Bung Karno di halaman
yang sama.
Dari penuturan detik-detik Proklamasi yang
dituturkan Bung Karno tampak jelas kesederhanaan dari momen penting sejarah
Republik. Nyata sekali tanpa persiapan. Bukan hanya tidak ada susunan acara dan
protokoler seperti lazimnya suatu negara menyatakan kemerdekaanya, naskah
proklamasi pun ditulis hanya di atas selembar kertas, bukan di atas perkamen
dari emas dan ditulis menggunakan pena bulu ayam agar sesuai tradisi.
Mengenai tanggal proklamasi 17 Agustus
1945 sejatinya bukan tanggal yang direncanakan karena pada saat menjelang tanggal
tersebut masih terdapat pro dan kontra antara golongan tua dan golongan muda. Golongan
muda melihat tantara pendudukan Jepang semakin melemah, tetapi golongan tua
tetap pada pendirian untuk menyerahkan keputusan pada Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
PPKI adalah salah satu organisasi
bentukan pemerintahan Jepang yang dibuat pada tanggal 7 Agustus 1945 yang
bertugas untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah
ketatanegaraan untuk menghadapi penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang
kepada Indonesia. PPKI beranggotakan 21 orang, dengan ketuanya yaitu Soekarno
dan wakilnya adalah Moh. Hatta dengan penasehat Mr. Ahmad Subardjo.
Tanggal 17 Agustus 1945 merupakan
tanggal kompromi setelah pada tanggal 15 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta
diculik sekelompok pemuda pimpinan Chaerul Saleh ke Rengasdengklok. Kelompok
pemuda tersebut mendesak Bung Karno agar menyatakan kemerdekaan pada keesokan
harinya (16 Agustus 1945).
“Tujuh belas angka suci. Pertama, kita
di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi
Muhammad SAW memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka
17 bukan buatan manusia,” begitu kata Bung Karno seperti dituliskan Cindy Adams
(hlm. 207).
Selanjutnya, meski pembacaan proklamasi
dilakukan secara sangat sederhana, namun seperti dikatakan Kepala BPIP, Prof.
Yudian Wahyudi, dalam dialog daring di
acara “Jumat Bersama BPIP: Perspektif Adduha” yang diselenggarakan Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) tanggal 1 Mei 2020, ada kesamaan antara peristiwa Proklamasi
dengan peristiwa pembebasan Makkah (Faktuh Makkah) yaitu suatu revolusi di
jaman rasullulah Muhammad SAW.
Kesamaan tersebut adalah sama-sama
berhasil melaksanakan revolusi tidak berdarah dalam suasana perang. Menurut Kepala
BPIP, Bung Karno dan Bung Hatta berhasil meneladani perilaku Rasullulah untuk
melakukan revolusi tidak berdarah meski Proklamasi dilakukan dalam suasana
perang dunia kedua. Semua pencapaian tersebut merupakan kehebatan bangsa
Indonesia yang antara lain karena Pancasila.
Ditambahkan oleh Kepala BPIP bahwa
proklamasi tersebut merupakan sebuah anugerah dan mukjizat yang luar biasa dari
Tuhan YME yang jatuh di bulan Ramadhan, bahwa di tengah suasana perang dunia
dan keterbatasan penguasaan teknologi militer, bangsa Indonesia dapat
menyatakan kemerdekaannya.
Momen Ramadhan yang sering disebut
sebagai bulan jihad dan kemenangan, baik kemenangan melawan hawa nafsu maupun
kemenangan melawan musuh di medan perang, ternyata dimanfaatkan dengan sebenar-benarnya
oleh bangsa Indonesia. Dimana bangsa Indonesia resmi menyatakan kemerdekaannya
di bulan Ramadhan 1334 H atau 107 tahun hijriah yang lalu.
Bekasi, 2 Mei 2020
Leave a Reply