Lambatnya peluncuran rudal C-705 buatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dari KRI Clurit 641, yang hitungan mundurnya dilakukan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo, pada saat uji coba persenjataan di latihan perang TNI AL Armada Jaya XXXIV/2016 di Perairan Banongan, Situbondo, Jawa Timur, 14 September 2016, menuai kritik dari masyarakat.
Meski hingga kini belum jelas penyebab keterlambatan rudal buatan RRT tersebut, yang pasti peristiwa tersebut semakin memperpanjang daftar hitam produk RRT yang gagal di Indonesia. Sebelumnya, produk RRT masuk dalam daftar hitam antara lain pada proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW dan pengadaan bus transjakarta.
Pemerintah Indonesia pun kena getahnya karena dituding tidak becus dalam mengadakan alat utama sistim pertahanan (alutsista). Meskipun Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan bahwa Tiongkok adalah negara pengekspor senjata ketiga terbesar di dunia setelah AS dan Rusia, namun pilihan membeli alutsista dari RRT memunculkan sejumlah pertanyaan mengingat produk yang dihasilkannya belum teruji keandalannya dalam perang sebenarnya.
Rudal C-705 sendiri merupakan salah satu produk terbaru yang dikembangkan Pemerintah RRT dan diperkenalkan ke publik pada ajang Zhuhai Airshow ke-7 tahun 2008. Dengan mesin, hulu ledak, dan sistem pemandu serta desain modular dari mesin baru, rudal C-705 ini memiliki jangkauan lebih jauh dari rudal pendahulunya, C-704. Jika jangkauan rudal C-704 berkisar 75-80 km, maka rudal C-705 dapat mencapai 170 kilometer.
Menyadari kebutuhan akan rudal yang memiliki daya jangkau memadai dan mematikan yang bisa diluncurkan dari pesawat, kapal dan kendaraan darat, Pemerintah Indonesia jelas terpincut untuk membeli rudal C-750. Apalagi pembeliannya dikaitkan dengan kesediaan RRT untuk melakukan transfer teknologi dan mendirikan industri pertahanan strategis yang dapat memproduksi rudal C-705 di Indonesia serta tentu saja tanpa embel-embel lain seperti keharusan menegakkan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang umumnya dilakukan AS dan sekutunya.
Untuk itu, pada tahun 2011 di Beijing ditandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai kerja sama teknis di sektor pertahanan oleh Wakil Menteri Pertahanan RI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin dan Kepala Badan Penggembangan Industri dan Teknologi Tiongkok Chen Quefa.
Dalam MoU tersebut disepakati bahwa Tiongkok akan menyediakan perlengkapan militer, melakukan transfer teknologi perangkat militer tertentu, pemasaran bersama dan progam pelatihan, serta akan mendirikan industri pertahanan strategis untuk memproduksi rudal C-705 yang pembangunannya dilakukan Kementrian Pertahanan RI dan Precision Machinery Import-Export Corporation (CPMEIC) sebagai pemegang proyek pengerjaan rudal. Jika kesepakatan ini berlangsung baik, maka rencananya rudal C-705 akan dapat diproduksi di Indonesia dan dipasang di daerah perbatasan untuk pengamanan.
Dengan latar belakang seperti tersebut di atas, terlihat tidak ada yang keliru dengan pembelian rudal C-705. Pembelian tersebut bukan sekedar membeli persenjataan tetapi juga kesempatan untuk mendorong kemandirian dalam melengkapi alutsista melalui transfer teknologi dan pembangunan industri pertahanan strategis di dalam negeri. Kemandirian merupakan suatu hal yang mutlak dibutuhkan dan harus dicapai suatu bangsa agar dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berlandaskan kekuatan sendiri.
Secara kuantitas, pengembangan alutsista pada dasarnya dapat dilakukan dengan memproduksi atau membeli dari luar negeri. Secara kualitas, pengembangan alutsista lebih rumit karena mesti didukung oleh lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) dan industri pertahanan yang handal dan mampu memberikan alutsista yang mempunyai kualitas sebagai mana diinginkan pengguna. Adanya industri pertahanan akan membuat angkatan bersenjata mandiri dalam persenjataan, tidak tergantung pada negara lain. Hubungan baik dan kesepakatan dengan negara-negara maju bukan jaminan diberikannya bantuan militer ketika muncul ancaman dari luar.
Karena itu kesempatan pembelian rudal C-705 yang diikuti dengan transfer teknologi dan pembangunan industri pertahanan strategis mesti dipahami sebagai sikap untuk meningkatkan kemampuan memodifikasi alutsista impor dan mengintegrasikan berbagai sistem ke dalam platform alutsista TNI, termasuk kemampuan memelihara alutsista sepanjang siklus hidupnya. Selain itu, pembelian rudal C-705 juga bisa menjadi penyeimbang dan alternatif pilihan pengadaan alutsista menghadapi persyaratan-persyaratan ketat pengadaan persenjataan, termasuk mengaitkannya dengan masalah HAM, yang kerap diajukan AS dan sekutunya.
Untuk itu pula, terjadinya kelambatan peluncuran rudal C-705 kiranya dapat dipahami sebagai bagian dari proses modifikasi alutsista yang belum selesai. Bisa saja keterlambatan terjadi karena saat dilakukan uji coba peluncuran terdapat ketidaksesuaian pasokan listrik di Clurit 641. Penyebab lainnya, seperti umumnya perangkat elektronik buatan RRT yang masih menuliskan instruksi manualnya dalam bahasa Mandarin, bisa jadi instruksi manual pengoperasian rudal C-705 masih ditulis dalam bahasa Mandarin. Akibatnya, para personil yang bertanggung jawab terhadap pengendalian rudal C-705 mengalami kendala saat uji coba.
Meskipun dapat dipahami, kiranya evaluasi pengadaan dan pengoperasian rudal C-705 tetap perlu dilakukan guna memelihara kesinambungan kerja sama militer Indonesia-Tiongkok dan mencegah berulangnya ketidaksempurnaan pengoperasian alutsista di masa mendatang. Insiden keterlambatan peluncuran rudal C-705 juga dapat dijadikan momentum untuk meninjau ulang MoU kerja sama teknis pertahanan yang ditandatangani tahun 2011. Sejumlah pertanyaan mendasar yang kiranya dapat diajukan antara lain adalah apakah setelah 5 tahun penandatanganan MoU, proses transfer teknologi persenjataan telah berjalan baik atau tidak. Berapa banyak tenaga ahli Indonesia yang sudah mendapatkan kesempatan mempelajari teknologi yang digunakan dalam rudal C-705 atau hanya sebatas pada cara pengoperasiannya. Dan apakah industri pertahanan strategis untuk membuat rudal C-705 sudah benar-benar dibangun di Indonesia atau masih sekedar di atas kertas.
Leave a Reply