Enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 2011, saya mengunggah tulisan di blog pribadi mengenai “Pancasila dan Gedung Pancasila yang Kesepian”. Saya menceritakan mengenai kesamaan nasib Pancasila dan gedung tempat kelahirannya di jalan Taman Pejambon yang sama-sama kesepian.
Mengutip pendapat Daoed Joesoef, mantan Menteri pendidikan di era Soeharto, di Kompas 1 Juni 2011, Pancasila kesepian karena nilai-nilainya telah direduksi sedemikian rupa, salah satunya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang direduksi menjadi Keagamaan Yang Maha Esa dan ukuran ”keesaan” itu adalah besarnya jumlah penganut. Sementara Gedung Pancasila yang terletak di komplek Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon Jakarta, tempat dicetuskannya Pancasila oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, kerap kesepian karena jarang sekali digunakan untuk kegiatan sosialisasi sejarah dan nilai-nilai Pancasila, bahkan di hari kelahiran Pancasila itu sendiri.
Entah kemungkinan ada yang menyampaikan tulisan saya di blog kepada pihak Istana Presiden, maka setelah 1 Juni dinyatakan oleh Pemerintah sebagai hari kelahiran Pancasila pada 2016, puncak peringatan pertama kelahiran Pancasila di tahun 2017 ini dilaksanakan di Gedung Pancasila, tempat dimana Soekarno menyampaikan gagasan mengenai Pancasila pada 1 Juni 1945. Peringatan yang berlangsung khidmat dipimpin langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) serta dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi negara dan perwakilan anggota masyarakat, termasuk tokoh-tokoh lintas agama.
Dalam sambutannya Presiden Jokowi menyampaikan bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah keberagaman yang membentuk suatu bangsa dan negara yang berbhineka tunggal ika. Kebhinekaan tersebut selalu diuji antara lain oleh kelompok-kelompok yang intoleran dan munculnya ujaran-ujaran kebencian dan hoax di media sosial. Karena itu menurut Presiden Jokowi, untuk memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia, tidak ada pilihan lain selain menjaga Pancasila. Peran aktif semua pemangku kepentingan sangat diharapkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk membuat masyarakat memahami, mengetahui, mencintai Pancasila, dan kemudian menjadikan Pancasila sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Di dalam unit kerja ini nantinya akan ada Dewan Pengarah berjumlah 9 orang, yang terdiri dari negarawan, kemudian akademisi, dari latar belakang keagamaan, dan TNI/ Polri dan PNS.
Meski belum mengetahui program dari UKP PIP ini, penulis menanggapi pembentukannya secara positif sebagai langkah untuk kembali menghidupkan dan memelihara nilai-nilai Pancasila di masyarakat luas. Hal ini mengingat bahwa setelah 72 tahun kelahiran Pancasila dan hampir 20 tahun bergulirnya reformasi, masyarakat justru semakin dihadapkan pada dinamika sosial politik yang kebablasan. Cara pandang terhadap Pancasila sebagai ideologi negara pun ternyata belum sepenuhnya menjadi etos bangsa. “Pancasila sebagai cara pandang berbangsa dan tuntunan bernegara belum sepenuhnya menjadi etos bangsa Indonesia. Pancasila biasanya hanya muncul dalam wacana pubik saat ada masalah bangsa. Padahal Pancasila harus jadi “napas” dan basis rasionalisasi semua kebijakan”, demikian tulis Kompas di halaman depan edisi Senin 29 Mei 2017, merujuk pada penelitian sejumlah lembaga kajian Pancasila.
Bahkan masih menurut Kompas, “setelah reformasi, Pancasila bahkan cenderung jarang dibicarakan di ruang publik, bahkan juga di ruang parlemen ataupun dalam proses pengambilan kebijakan publik. Selain muncul saat dibutuhkan sebagai resep penyembuh berbagai persoalan bangsa, wacana Pancasila biasanya juga hanya muncul di ruang publik pada peringatan hari kebangsaan”.
Apa yang dituliskan Kompas ada benarnya. Pilkada DKI yang baru saja usai dapat menjadi contoh yang baik tentang bagaimana Pancasila baru muncul kembali ketika ada salah satu pasangan calon yang merasa dirugikan. Dan pernyataan bahwa Pancasila biasanya muncul di ruang publik pada peringatan kebangsaan sepertinya terbukti setiap 1 Juni atau 1 Oktober.
Hal tersebut di atas bisa terjadi karena salah satu penyebabnya adalah tidak adanya lembaga yang khusus membuat program dan mengawasi pelaksanaan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dulu di masa Orde baru ada lembaga yang bernama BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang memiliki tugas menjaga ideologi Pancasila dengan merancang program-program penataran Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P4) yang wajib diikuti semua elemen masyarakat dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional.
Suka atau tidak, apa yang dilakukan BP-7 dan didukung aparat pemerintah dalam melestarikan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari dapat berjalan dengan baik. Meski stabilitas politik yang terjadi dinilai semu, namun dalam praktiknya kehidupan politik masyarakat terlihat tenang dan pembangunan dapat terlaksana dengan baik.
Karena itu merujuk pembentukan UKP PIP, harapannya adalah pola-pola pemahaman nilai-nilai Pancasila seperti yang pernah diselenggarakan BP-7 di masa Orde Baru dapat dilakukan kembali, namun dengan dengan tetap memperhatikan dinamika sosial politik terkini serta melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Masyarakat Indonesia diajak untuk tidak boleh melupakan peran para pendiri bangsa dalam merumuskan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara. Bagaimana para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 39 orang dan dipimpin Dr. Radjiman Wedyodiningrat melakukan rapat-rapat intensif membahas konsep ideologi negara di gedung Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) atau yang sejak 1964 dikenal sebagai Gedung Pancasila,
Bagaimana dengan penuh semangat dan berapi-api, tokoh-tokoh seperti M. Yamin, Soepomo dan Soekarno menyampaikan pidato mengenai konsep ideologi negara pada 30-31 Mei dan 1 Juni 1945. Yang fenomenal tentu saja pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dimana ia menyampaikan mengenai lima dasar yang bisa dijadikan untuk membangun Indonesia merdeka yaitu kebangsaan atau nasionalisme, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Lima dasar yang disampaikan Soekarno tersebut merupakan cetak biru dan jati diri untuk mempersatukan segenap elemen bangsa serta menjadi dasar negara Indonesia, ideologi negara Indonesia.
Berdasarkan notulen rapat, pidato Soekarno tersebut mendapat tepuk tangan yang “riuh”, “riuh rendah” dan “menggemparkan”. Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Soekarno itu berisi “Lahirnya Pancasila,” dan “telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang ada dibawah pengawasan keras dari Pemerintah Balatentara Jepang”.
Dan sejarah kelahiran Pancasila tidak hanya berhenti sampai disitu, masyarakat luas juga mesti memahami bagaimana rapat-rapat intensif yang dilakukan para pendiri bangsa pada akhirnya menyepakati Pancasila sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Akhirnya mari kita sambut pembentukan UKP PIP sebagai lembaga yang membina pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita dukung program-program UKP PIP yang membumi dan memasyarakat. Jangan biarkan Pancasila kesepian seperti di masa lalu.
Salam Pancasila
#SayaPancasilais
Leave a Reply