Kemarin pagi (11/12), saya baru saja tiba di kantor ketika seorang rekan memberitahukan bahwa Pak Ali Alatas telah berpulang pada pukul 07.30 di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura dalam usia 76 tahun. Meski sudah beberapa waktu lalu mendengar bahwa beliau sedang dirawat di Singapura, namun tak urung berita wafatnya beliau cukup membuat kaget.
Sebagai staf di departemen dimana Pak Ali Alatas pernah menjadi menteri selama 12 tahun (1987-1999), saya beruntung sempat beberapa kali bertemu beliau. Untuk itu saya ingin sedikit berbagi pengalaman bertemu Pak Ali Alatas dan kesan terhadapnya.
Perjumpaan pertama saya dengan Pak Ali Alatas terjadi saat KTT APEC di Manila tahun 1996. Saat itu Pak Ali Alatas adalah Menlu RI yang hadir sebagai salah satu anggota Delegasi RI yang dipimpin Presiden Soeharto. Pada suatu kesempatan, beliau sempat diminta berfoto bareng oleh para ibu-ibu istri staf Kedutaan. Dengan tersenyum ramah beliau memenuhi permintaan tersebut, bahkan sempat menanyakan usia kehamilan istri saya yang saat itu sedang mengandung anak pertama. Terus terang saat itu saya tidak menyangka kalau dengan keramahan dan senyum khasnya beliau ternyata menjadi favorit ibu-ibu.
Pertemuan kedua terjadi kira-kira tahun 2001, dua tahun setelah Pak Ali Alatas tidak lagi menjabat sebagai menlu. Saat itu saya mendampingi boss menghadiri pertemuan pengurus Indonesian Council of World Affairs (ICWA) di Jakarta. Pada pertemuan tersebut hadir para pengurus teras ICWA yang sebagian besar adalah mantan Dubes dan Dirjen, bahkan hadir pula mantan Dubes RI di AS yang juga mantan menteri dan Gubernur BI.
Ketika pertemuan dimulai, Pak Ali Alatas atau biasa pula dipanggil dengan Pak Alex belum hadir. Beliau telah menginformasikan akan datang terlambat karena pada waktu yang bersamaan harus menghadiri suatu pertemuan yang tidak dapat dibatalkan.
Sudah 2 jam lebih pertemuan berlangsung dan selama itu pula terjadi pertukaran pandangan yang seru. Namun herannya, selama itu pula peserta pertemuan belum berhasil mencapai kata sepakat mengenai suatu isu yang dibahas.
Disaat pembahasan masih berkepanjangan, Pak Ali Alatas tiba di tempat pertemuan. Setelah mendengar permasalahan yang sedang dibahas, beliau kemudian menjelaskan secara runtut mulai dari awal hingga situasi terakhir permasalahan tersebut. Penyampaian disampaikan dalam tutur bicara yang lembut, santun dan menggunakan pilihan kata yang mudah dimengerti serta tanpa terkesan menggurui. Apa yang disampaikan beliau kemudian dapat diterima oleh semua peserta pertemuan. Tidak mengherankan jika selanjutnya para peserta rapat pun dapat segera mengambil keputusan yang memuaskan semuanya.
Di bulan Juli 2006, kembali saya bertemu Pak Alatas yang datang ke Brussels sebagai anggota Eminent Persons’ Group (EPG) ASEAN. Saat itu Pak Ali Alatas dan EPG ASEAN lainnya dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand berkunjung ke Brussels dalam rangka mengadakan pertemuan dengan pejabat Uni Eropa (UE) guna menyusun rekomendasi bagi penyusunan Piagam ASEAN.
Hal yang patut diteladani dari kunjungan beliau ke Brussel kali ini adalah sikap beliau yang penuh tanggung jawab dan bersedia mengorbankan waktunya untuk kepentingan pelaksanaan tugas yang diembannya. Padahal sebetulnya saat itu beliau bisa saja menolak ke Brussels. Karena selain adanya perubahan jadwal pertemuan, awalnya dijadwalkan pada bulan Mei 2006, beliau juga sedang menjalankan “cuti” dan liburan bersama istri, anak dan cucu-cucunya di Disneyland Hongkong. Mengetahui pertemuan EPG ASEAN dengan pejabat UE hanya memungkinkan pada waktu tersebut, dari Hongkong beliau langsung meluncur ke Brussel, seorang diri tanpa didampingi staf.
Terakhir saya melihat Pak Ali Alatas saat menghadiri pertunjukan kesenian dalam rangka HUT ASEAN ke 41 di Gedung Kesenian Jakarta tanggal 8 Agustus 2008. Saat itu terlihat beliau berjalan dengan disanggah tongkat. Meskipun demikian, terlihat beliau masih tetap bersemangat mengikuti acara yang ditampilkan. Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan menyambut hangat kehadiran Pak Alatas dan sangat menghormati beliau sebagai diplomat andal dan salah satu saksi mata penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tahun 1967 yang menjadi dasar terbentuknya ASEAN.
Benar seperti apa yang dikatakan Presiden SBY lewat Jubir Kepresidenan Dino Patti Jalal bahwa sampai akhir hayat Pak Ali Alatas selalu semangat menjalankan tugasnya. Beliau selalu memberi masukan-masukan secara jujur dan selalu berbobot, apa adanya, serta utamakan kepentingan nasional.
Dengan kepergian Pak Ali Alatas, Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya yang konsisten berjuang melalui jalur diplomasi. Perjuangan beliau bukan hanya dalam ruang lingkup nasional, tetapi juga dalam lingkup regional dan global. Seperti harimau yang mati meninggalkan belang, maka Pak Ali Alatas pergi dengan damai meninggalkan keteladan sebagai seorang pejuang perdamaian dan negarawan yang dikenal di dunia internasional.
Selamat jalan Pak Ali Alatas, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa bapak dan diterima di sisi NYA sesuai amal dan ibadahnya.
Kepada keluarga yang ditinggalkan semoga diberikan ketabahan dan kekuatan dalam menerima cobaan ini. Ina Lillahi Wa Ina lillahi Rojiun.
Leave a Reply