Pagi
hari Jumat 11 Desember 2020, cuaca di kota Ende cukup sejuk karena semalam baru
saja turun hujan. Di pagi yang sejuk itu aku menapaki perlahan demi perlahan anak-anak
tangga menuju bangunan di atas bukit. Di pertengahan jalan menuju puncak telah
menanti seorang pria berkemeja cerah dan senyum ramah tersungging di bibir.
“Selamat
datang di Biara Santo Yosef, Ende. Perkenalkan saya Pater Henri Daros SVD,
pimpinan Biara yang tergabung dalam Society Verbe Devine (SVD) atau Serikat
Sabda Allah yang didirikan pada tahun 1913. Sejak didirikan pada jaman Belanda
tersebut, Biara ini telah dihuni oleh para Pater dan Bruder yang bertugas
melakukan pelayanan rohani umat Katholik dan pembangunan,” sapa pria yang menyambut
saya dan rombongan kami dengan ramah. Ia menyambut kami tanpa didampingi
siapapun.
“Sengaja
saya menyambut di pertengahan anak tangga menuju bukit ini, bukan di pintu utama
di depan, agar kiranya bapak-bapak dapat membayangkan jejak langkah Soekarno
muda menapaki anak-anak tangga di bukit ini menuju gedung utama Biara dan melewati
lorong menuju serambi gedung yang sekarang dinamakan Serambi Soekarno. Di
serambi ini Soekarno kerap berinteraksi dengan para Biarawan ataupun membaca
buku-buku milik perpustakaan biara ataupun buku pribadi para Pater. Anak-anak
tangga yang bapak-bapak injak ini masih asli dan tidak ada perubahan berarti.
Disinilah Soekarno muda atau Bung Karno berjalan setiap kali menuju gedung
utama Biara,” ujar Pater Henri kemudian
“Tahukah
Bapak, kalau anak tangga yang kita injak sekarang ini jumlahnya 45 anak tangga?
Angka yang identik dengan tahun kemerdekaan NKRI yaitu tahun 1945,” tanya Pater
Henri.
Ketika
kami menggeleng, Pater Henri pun lantas menjelaskannya. “Bisa jadi hanya kebetulan
semata. Tapi akan semakin mengherankan apabila kita kemudian mengetahui bahwa
jarak lorong gedung dari ujung anak tangga menuju pintu serambi adalah 17 meter
dan dari pintu serambi ke kantor pimpinan Biara pada saat itu,Pater Gerardus
Huijtink, SVD, adalah 8 meter. Bukankah jika semua fakta tersebut digabungkan
seperti merujuk pada tanggal kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945”
“Coincidence
is a messenger sent by truth, saya lupa siapa nama penulis yang membuat
kutipan tersebut, tapi saya yakin kutipan tersebut sangat cocok untuk menggambarkan
kebetulan-kebetulan yang terdapat di biara ini dengan kemerdekaan Indonesia
yang diperjuangkan dan diproklamasikan oleh Bung Karno,” begitu penjelasan
Pater Henri. (belakangan dari googling saya mengetahui bahwa kutipan tersebut
berasal dari seorang penulis Inggris, Jacqueline Winspear)
“Saya
melihat kebetulan-kebetulan ini seperti sebuah pesan yang dikirim oleh kebenaran.
Pesan ini mengendap dalam alam pikiran bawah sadar yang kemudian menuntun pergerakan
dari refleksi menuju aksi,” ujar Pater Henri
“Pater,
apakah hanya itu saja kebetulan-kebetulan yang terjadi sehingga dapat dikaitkan
dengan kemerdekaan Indonesia?.” tanyaku menyela penjelasan Pater Henri.
“Ada satu
kebetulan lain, yang mungkin dapat dikatakan sebagai firasat yaitu perkataan
Pater Huijtink yang pada masa-masa akhir kepergian Soekarni dari Ende seringkali
menyebut Bung Karno sebagai Tuan Presiden. Dengan menyebut Bung Karno sebagai
Tuan Presiden, sepertinya Pater Huijtink telah memiliki firasat yang kuat bahwa
suatu saat Indonesia akan menjadi negara
yang merdeka dan Bung Karno menjadi presidennya. Bung Karno pun akan kembali ke
Ende sebagai Presiden Indonesia, negeri yang diperjuangkannya dengan sepenuh
jiwanya,” jawab pater Henri.
Sambil
berbincang, tidak terasa kami sudah di ujung anak tangga. Perbincangan pun terus
berlanjut sambil melewati lorong 17 meter menuju serambi. Di sepanjang lorong ini
dipajang foto-foto Presiden Indonesia, mulai dari Soekarno hingga Joko Widodo.
Di bawahnya terlihat kursi kayu berjejer rapih di pinggir lorong. Menurut
penjelasan Pater Henri, kursi-kursi tersebut sebagian besar masih asli.
Setiba
di serambi tampaklah sebuah patung besar Bung Karno sedang duduk memandang ke
laut lepas. Sementara di dinding terdapat teks Pancasila dan lukisan bergambar Bung
Karno sedang berbincang dengan dua misionaris asal Belanda, Pater Gerardus
Huijtink, SVD dan Pater Joanes Bouma, SVD.
“Nah
di serambi inilah Bung Karno kerap berinteraksi dengan para Biarawan, membaca
buku-buku atau majalah serta berkonsultasi tentang rencana dan jadwal pementasan
tonil hasil karyanya serta berbincang-bincang dan bertukar pikiran. Tidak
jarang pula Bung Karno membaca di ruang kantor Pater Huijtink. Di serambi ini
kita bisa memandang laut lepas dan merasakan semilir anginnya. Sayang,
pemadangan ke arah laut sekarang ini terhalang oleh bangunan gedung yang
didirikan kemudian,” ujar Pater Henri.
“Tidak
banyak referensi, apalagi di media sosial, yang menulis mengenai kontribusi
Biara dalam memperluas wawasan Bung Karno tentang berbagai hal, terutama
internasionalisme. Benar bahwa Bung Karno diketahui sudah banyak membaca
buku-buku sejak sebelum ke Ende, tetapi dengan membaca buku-buku di Biara dan banyak
berdiskusi dengan para Pater maka wawasan Soekarno semakin luas dan permenungan
yang dilakukannya semakin mendalam,” tambah Pater Henri.
“Bukan
hanya buku-buku, bahkan dari referensi yang diberikan Pater Martin, Bung Karno berkesempatan
membaca ajaran Katholik dari ensklesi yang ditandatangani langsung oleh Paus di
Vatikan yaitu Retum Novarum tentang Kaum Buruh yang ditandatangani pada 15 Mei
1891 tentang kaum buruh dan Quadra Desimo Anno tentang tata sosial masyarakat
baru yang ditandatangani pada 15 Mei 1931,” ujar Pater Henri.
Menurut
Pater Henri, kedua ensklesi ini memberi sumbangan sangat berharga bagi Bung
Karno dalam memandang kaum buruh dan pentingnya nasionalisme dalam perspektif
internasional. Kedua ensklesi ini
menjadi benang merah permenungan,
penggalian dan penemuan lima butir nilai-nilai Pancasila.
“Untuk
mengenang Bung Karno dan memberikan informasi lebih banyak tentang kegiatan Bung
Karno selama tinggal di pengasingan di Ende, yang salah satunya adalah
mengunjungi Biara Santo Yosef, maka pada peringatan 85 tahun pendaratan Bung
Karno di Ende yaitu pada tanggal 14 Januari 2019, Biara Santo Yosef menjadikan
serambi yang kerap dikunjungi Bung Karno sebagai “Serambi Soekarno” yang
terbuka untuk umum,” ujar Pater Henri.
Apresiasi
layak diberikan kepada Biara Santo Yosef atas upayanya meningkatkan literasi
mengenai proses penggalian nilai-nilai Pancasila di Ende, bahwa gagasan
mengenai Pancasila dari Bung Karno tidak hadir tiba-tiba di bawah pohon sukun. Penggalian lima butir Pancasila dilakukan
melalui berbagai proses lain yang menyertainya seperti membaca buku-buku di
Biara Santo Yosef dan interaksi dengan masyarakat setempat
Hal
ini sejalan dengan pernyataan Bung Karno sendiri yang tertulis di prasasti di
bawah pohon sukun di kota Ende “Di kota ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan
nilai-nilai luhur Pancasila. ” Kata “Kota ini” dalam perkataan
Bung Karno tidak salah lagi adalah Ende dan salah satu tempatnya adalah di Biara
Santo Yosef dimana beliau banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan Biarawan.
Ende,
13 Desember 2020
Leave a Reply