Dalam suatu pertandingan sepakbola dimana kondisi dua tim berimbang, jangan pernah sekalipun kehilangan pemain karena kartu merah. Akibatnya bisa fatal, bahkan untuk tim sekelas Manchester United (MU). Ketika MU kehilangan Jonny Evans yang diusir wasit di awal babak kedua, MU pun takluk dengan skor telak Hal ini sangat mengejutkan mengingat di awal kompetisi, MU terlihat perkasa dengan mengantungi 5 kemenangan berturut-turut dengan dengan skor telak. Tapi Minggu malam kemarin (23/10), keperkasaan Setan Merah (sebutan bagi MU) seolah sirna ketika babak belur dihantam klub sekotanya, Machester City (the Citizen) dengan skor telak 1-6. Ini merupakan kekalahan telak pertama Setan Merah dalam sebuah pertandingan derby (pertandingan antar tim sekota) sejak tahun 1955 (66 tahun lalu) dimana saat itu the Citizen memukul Setan Merah dengan skor 5-0. Sebagai pendukung MU, saya tentu saja kecewa dengan kekalahan tersebut, karena berarti MU gagal merebut puncak klasmen.
Kemenangan telak the Citizen atas MU tersebut justru memperkokoh statusnya sebagai pemimpin klasmen sementara dengan angka 25 dan membuktikan bahwa uang memang berbicara di sepak bola. Sekitar 5-10 tahun lalu para pendukung the Citizen masih merasa sebagai pendukung klub sepak bola kelas dua. The Citizen masih jauh dari bayang-bayang kebesaran MU yang selalu meraih gelar demi gelar, bukan hanya di Inggris tetapi juga di Eropa. Ketika pelatih MU Sir Alex Fergusson berkali-kali mengangkat piala-piala kemenangan di berbagai kompetisi di Inggris dan Eropa, para pendukung the Citzen hanya bisa berdoa agar klubnya tidak terdegradasi dari liga utama.
Tapi ibarat roda yang terus berputar, secara pasti the Citizen mulai mendaki dan berada di sisi atas menyusul angin perubahan yang dihembuskan Sheikh Mansour Bin Zayed Al Nahyan dari Uni Emirat Arab pada tahun 2008. Dengan gelontoran dana yang seolah tanpa batas, Sheikh Mansour memberikan harapan dan mimpi kepda pendukung klub bahwa the Citizen bisa mendepak Setan Merah dan menguasai panggung sepak bola Inggris, bahkan Eropa.
Dengan suntikan dana tanpa batas, dimulailah pembenahan the Citizen dengan belanja pemain-pemain hebat dan berkualitas, tidak peduli pemain tersebut masih terikat dengan kontrak dengan klub lain. Sepanjang negosiasi bisa dilakukan dan kontrak baru bisa disepakati maka pemain yang diinginkan langsung ditarik. Pemain top pertama yang merapat adalah Robinho yang dibeli seharga US$ 58.5 juta dan memecahkan rekor pembelian di Inggris, dan terakhir adalah Samy Nasri (dari Arsenal) dan Segio Aguero (dari Atletico Madrid). Tidak cukup sampai disitu, the Citizen pun mengontrak pelatih/manajer kelas wahid Roberto Mancini yang mengantar Inter Milan merajai Liga Italiia 3 kali berturut-turut . Hasilnya memang nyata, dibawah Mancini, tahun 2010 lalu the Citizen berhasil merebut Piala FA dan saat yang bersamaan mulai melangkahkan kaki ke Liga Champion Eropa setelah menduduk urutan ketiga pada klasmen Liga Inggris periode 2010/2011.
Ironisnya, ditengah keberhasilan pembelian besar-besaran the Citizen, MU justru terlihat gagal mendapatkan sejumlah pemain yang diinginkan, misalnya gagal mendapatkan Frank Ribery atau Arjen Robben. MU hanya berhasil mendapatkan Ashley Young dan pemain muda Inggris Phil Jones untuk menutup kelemahan barisan gelandang dan poertahanannya. Akibatnya ketika Nemanja Vidic cedera atau Rio Ferdinand tidak maksimal, tidak ada pemain setara yang bisa menutupnya. Jonny Evans yang diharapkan jadi pemain masa depan MU, masih belum stabil dan bahkan dikartumerahkan dalam pertandingan semalam.
Apa yang dilakukan the Citizen sebenarnya bukan yang pertama di dunia sepak bola. Sebelumnya Chelsea melakukan hal serupa ketika taipan Rusia Roman Ambrahamovich membeli klub asal kota London tersebut dan merombak total pengelolaan klub dengan membeli pemain-pemain dan pelatih/manajer berkualitas. Bahkan Chelsea lebih ekstrem, pelatih/manajer yang tidak berhasil memenuhi target jangan berharap bisa bertahan lama, karena sewaktu-waktu dapat terdepak. Dengan kekuatan uangnya, Abrahamovich bisa membeli siapa saja untuk memperbaiki kualitas tim Chelsea. Sama seperti the Citizen, Chelsea sekarang bukan lagi klub kklas menengah tetapi klub yang disegani di Liga Inggris dan Eropa.
Bagi yang tidak setuju dengan kebijakan seperti yang dilakukan the Citizen dan the Blues (sebutan untuk Chelsea), bisa saja menyebutkan bahwa apa yang mereka lakukan tidak baik bagi pembinaan sepakbola. Tapi itulah industri sepakbola saat ini yang tidak terlepas dari perhitungan untung rugi keuangan. Hanya kemenangan lah yang bisa membuat pemasukan bagi klub. Tanpa kemenangan, jangan harap penonton akan datang ke stadion dan terus mendukung timnya. Perlahan tapi pasti para pendukung akan mencabut dukungannya. Karena itu keluar masuknya pemain dan pelatih merupakan hal yang wajar. Tidak ada lagi loyalitas buta terhadap klub, pemain hanya loyal kepada klub yang berani membayarnya dengan kontrak tinggi sesuai yang disepakati.
Bagaimana dengan pembinaan? Sesuai dengan hukum pasar, pembinaan tentu saja akan mengikuti dinamika yang berlaku. Meski klub-klub besar beramai-ramai membeli pemain-pemain top yang sudah jadi, tapi tidak dari mereka yang juga meningkatkan kemampuan akademi sepakbolanya dalam melatih bibit-bibit baru pemain sepakbola. Selain untuk memenuhi kebutuhan internal, terdapat pula perhitungan untung rugi seperti bisnis pada umumnya. Akademi sepakbola yang bisa melatih dan menghasilkan pemain-pemain berbakat akan laris manis diincar klub-klub besar yang berkeinginan mendapatkan calon pemain hebat dengan harga yang relatif lebih murah. Karena itu bukan rahasia lagi jika akademi sepak bola seperti Akademi Sepakbola Barcelona , yang telah menghasilkan pemain sekelas Lionel Messi, selalu diincar para pencari bakat.
Jika di Inggris uang terbukti mampu mendongkrak prestasi klub, bagaimana dengan di Indonesia? Bisakah uang mendongkrak prestasi klub dan bahkan tim nasional Indonesia? Mungkin masih perlu waktu agak panjang untuk menjawabnya. Tapi setidaknya langkah maju telah dilakukan pengurus PSSI sekarang yang menghapuskan sepakbola subsidi dana APBD menuju industri sepakbola yang sesungguhnya. Kalau langkah pengurus PSSI konsisten dan diikuti langkah-langkah pembenahan di sektor-sektor lainnya, termasuk judi di sepakbola, saya optimis klub-klub di Indonesia juga akan maju, tidak kalah dengan klub-klub Jepang atau Korea misalnya. Semoga.
sebagai fans the blues, saya ikut mlongo ketika mbaca skor yang menunjukkan betapa telaknya hantaman ManCit. turut berduka ya mas Heru :)