Sholat Jumat di Masjid Niujie Beijing

Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 11.00 ketika Jumat kemarin saya tiba di komplek Masjid Niujie, sebuah mesjid tertua di Beijing yang dibangun pada tahun 996 oleh seorang cendikiawan Arab bernama Nasuruddin. Sesuai nama yang diberikan oleh Kaisar Zhengtong dari Dinasti Ming pada tahun 1474, masjid ini sebenarnya bernama “Libaisi (puisi putih)”. Namun karena bangunan komplek masjid tersebut menghadap sisi Niu Jie, sebuah nama jalan yang berarti Jalan Sapi (Niu=Sapi, Jie=jalan), maka komplek masjid tersebut pun lebih dikenal sebagai Masjid Niujie.

Dibangun di atas area seluas 10 ribu meter persegi di Distrik Xuanwu, sebuah distrik dengan komunitas muslim terbesar di Beijing, di dalam komplek terdapat sebuah bangunan utama yang disebut sebagai Grand Hall dan bangunan pendukung yang dikelilingi tembok setinggi sekitar 4 meter. Bangunan utama berfungsi sebagai masjid utama, sedangkan gedung-gedung penunjang berfungsi sebagai tempat wudhu, ruang pertemuan dan pamer, tempat tinggal imam masjid, dapur, gudang, dan masjid khusus untuk wanita.  Selain bangunan-bangunan tersebut, terdapat pula 2 makam Sheikh yang pernah menjadi guru di masjid tersebut dan meninggal pada tahun 1280 dan 1283.

Bagi orang asing yang tidak mengerti bahasa Mandarin tidak mudah untuk bisa langsung mengenali komplek Masjid Niujie dari luar. Tidak ada tanda-tanda fisik bangunan, seperti adanya kubah yang sering dijumpai pada masjid-masjid di Indonesia, yang memperlihatkan bahwa gedung tersebut adalah sebuah masjid. Seluruh bagian gedung pada komplek Masjid Niujie dibangun dengan gaya arsitektur China klasik yang lebih menyerupai tempat tinggal masyarakat China pada umumnya.

Saya sendiri baru bisa mengenali komplek Masjid Niujie setelah ditunjukkan oleh sopir taksi yang mengantar ke tempat tersebut. Dari luar terlihat sebuah bangunan menyerupai menara dengan sebuah pintu besar pada bagian bawahnya dan berpagar serta terkunci. Belakangan saya tahu bahwa bangunan menyerupai menara tersebut merupakan bagian depan masjid yang menghadap Niu Jie.

Untuk masuk ke komplek masjid tersebut saya dan pengunjung lainnya mesti melewati pintu yang berada di sisi kanan komplek masjid. Begitu melewati pintu masuk, terlihat sebuah lorong-lorong yang memisahkan antara satu bangunan dengan bangunan lain yang mengingatkan saya pada bangunan pada film-film silat Shaolin. Setelah melewati bangunan tempat menjual cinderamata dan kamar mandi untuk berwudhu, saya berbelok ke kiri dan terlihatlah bangunan utama masjid yang disebut sebagai Grand Hall. Bangunan tersebut terlihat anggun dan indah dengan halaman yang cukup luas.

Di bagian depan sebelah kiri kanan masjid terlihat dua bangunan tugu yang dibangun untuk menandai renovasi bangunan yang pernah dilakukan Kaisar. Sedangkan persis di depan bangunan masjid terdapat sebuah menara tunggal  yang dulunya digunakan untuk mengumandangkan azan. Tepat di sisi kanan menara azan, saya melihat sebuah ketel besar yang terbuat dari campuran timah dan tembaga. Menurut keterangan, ketel yang dibuat pada tahun  1702 dan diperbaiki tahun 1739 tersebut dulunya digunakan untuk menyiapkan bubur saat malam ke-27 setiap bulan Ramadhan dan upacara-upacara lainnya seperti Maulid Nabi Muhammad S.A.W.

Kembali ke bangunan utama masjid,  pada bangunan tersebut terdapat sebuah aula yang cukup luas dan diperkirakan bisa menampung sekitar seribuan jamaah. Interior aula didisain dengan memadukan unsur-unsur budaya China dilengkapi tulisan kaligrafi Arab. Dengan disain semacam itu, suasana aula terlihat ceriah dan semarak dengan dominasi warna merah dan kuning, kontras sekali dengan aula masjid di Indonesia yang umumnya didominasi warna putih . Di aula bagian depan, terlihat sebuah mimbar untuk berkhotbah, sedangkan di sisi kiri dan kanan aula tampak sederetan kursi menempel di dinding yang disediakan untuk jamaah yang tidak kuat berdiri saat sholat.

Menjelang pukul 13.00, jamaah sholat Jumat mulai ramai berdatangan dan memenuhi tempat-tempat di sekitar masjid. Beberapa jamaah terlihat langsung masuk ke aula, sementara yang lainnya masih bergerombol dan saling berbincang satu sama lain di teras ataupun menuju kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu dari aula masjid terdengar alunan ayat-ayat kursi Al-Quran yang diputar tidak terlalu keras dan hanya terdengar di sekitar masjid.

Ketika akhirnya rangkaian kegiatan sholat Jumat dimulai sekitar pukul 13.00 , terlihat para jamaah sudah memadati aula masjid.  Jamaah yang tidak kebagian tempat di aula, mengambil tempat di halaman beralaskan hamparan karpet merah yang dipasang pengurus masjid. Secara keseluruhan diperkirakan ada sekitar 1.500-an orang jamaah yang menghadiri shalat Jumat kali ini.

Rangkaian kegiatan sholat sendiri tidak berbeda dengan apa yang dilakukan umat muslim pada umumnya yaitu didahului dengan ceramah dan diakhiri dengan sholat Jumat berjamaah. Yang agak sedikit membedakan, khotbah yang disampaikan imam masjid dilakukan 2 kali dalam 2 bahasa, Mandarin dan Arab. Khotbah pertama sepanjang sekitar 20 menitan disampaikan dalam bahasa Mandarin.  Setelah sholat sunnah, dilaksanakan khotbah kedua yang lebih singkat dimana imam masjid membacakan teks khotbah Jumat dalam bahasa Arab. Selain itu, hal yang juga agak sedikit membedakan dengan kebiasaan di Indonesia, ketika Imam sholat usai membacakan surat Al-Fatihah, jamaah tidak menyahutnya dengan perkataan “amin” secara panjang dan keras, cukup pendek saja dan tidak begitu keras.

Usai shalat Jumat, para jamaah segera meninggalkan masjid untuk kembali menjalankan aktivitas keseharian. Saya pun segera bergegas meninggalkan tempat. Namun sebelum meninggalkan tempat, saya menyempatkan diri untuk berfoto sejenak dengan beberapa kenalan baru diantaranya 2 orang kakak beradik asal Solo, Rudiansah dan Hardiansah. Kedua orang tua mereka keturunan China dari marga Han dan telah memeluk agama Islam sejak lama, bahkan telah berhaji.  Secara rutin mereka berkunjung ke beberapa daerah di China seperti Beijing dan Xinjian untuk menengok kedua orangtuanya (yang sekarang banyak menghabiskan waktu di Beijing) dan saudara-saudara lainnya. Dalam kunjungan kali ini, mereka ditemani 2 orang muslim asal Xinjian yang salah satunya bernama Abdul Ghani. Meski tidak bisa berbahasa Indonesia, Abdul Ghani ini sudah pernah berkunjug ke beberapai daerah di Indonesia selama 4 bulan dalam rangka program pertukaran budaya China dan Indonesia.

Selain itu saya juga berkenalan dengan 4 orang staf Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang baru saja selesai mengikuti  pelatihan selama 2 bulan di Beijing dan akan kembali  ke Indonesia dalam 2-3 hari ini.

Usai berpamitan dengan mereka, sayapun segera meninggalkan halaman komplek masjid. Tapi cerita masih bersambung sedikit karena begitu sampai ke pintu gerbang tempat saya masuk, terlihat pemandangan yang tidak berbeda dengan suasana usai sholat Jumat di masjid-masjid kota besar di Indonesia yaitu adanya beberapa pengemis yang mengasongkan tangan meminta sedekah dari para jamaah yang baru saja usai sholat Jumat.

Untuk mencegah para pengemis memasuki area masjid, pengelola masjid telah memasang pengumuman dalam bahasa setempat dan Inggris yang melarang mereka masuk. Entah mereka paham atau tidak isi pengumuman tersebut, yang jelas mereka tidak berani melewati pintu gerbang dan cukup meminta-minta di depan pintu.

4 Responses to Sholat Jumat di Masjid Niujie Beijing

  1. Vavai says:

    Thanks buat liputannya mas, kapan-kapan kalau saya ke Beijing dan mas Aris masih dinas disana bisa Amprokan di Masjid Niujie :-)

  2. ajengkol says:

    SubhanaAllah keren tempatnya mas Islam masuk ke China lebih duluan yah ketimbang China

  3. fauns says:

    keren pak,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

  4. Aceng says:

    Mas Aris mau tanya mengenai waktu sholat diChina bagaimana???

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *