Tag Archives: Diplomasi

Managing Digital Information for Diplomats in the Era Paradox of Plenty

Technological advances have led to a dramatic reduction in the cost of processing and transmitting information. The result is an explosion of information, one that has produced a “paradox of plenty“. Plenty of information leads to scarcity -of attention. When people are overhelmed with the volume of information confronting them, they have difficulty discerning what to focus on. Attention rather than information becomes the scarce resource, and those who can distinguish valuable information from background clutter gain power. Editors and cue givers become more in demand, and this is a source of power for those who can tell us where to focus our attention” (Joseph S. Nye in “ Soft Power” as quoted by Christian Del Rosso in his article “The  Paradox of Plenty and the Scarcity of Attention).

We are now living in what some people call the digital age, meaning that internet have become an essential part of our lives. People are used to access the Internet, to do research and to communicate with others around the world. Using smartphones people make voice calls, send texts, email people and download logos, ringtones or games. With a built-in camera people can send pictures and make video calls in face-to-face mode. New smartphones combine a telephone with web access, videos, a games console, and MP3 player, a personal digital assistant (PDA) and a GPS navigation system, all in one.

With all these facts, It goes without saying that, in this digital age, we are inundated with an overwhelming amount of information, some of which is good, but much that is not. Google CEO Eric Schmidt was quoted as saying that every two days now we create as much information as we did from the dawn of civilization up until 2003 – something on the order of five exabytes of data.

Keamanan Cyber dan Diplomasi

Seiring inovasi yang terjadi di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta berkembangnya pola komunikasi melalui internet, muncul medan perang baru yang tidak lagi terbatas pada matra darat, laut, udara dan ruang angkasa tetapi juga melingkupi ranah cyber (cyber space) sebagai matra kelima (Al Jazeera, Fighting in Fifth Dimension, 19 February 2012).

Munculnya ranah cyber sebagai medan perang kelima yang juga diikuti kemunculan tindak kejahatan (cyber crime) dan terorisme (cyber terrorism) menjadikan isu keamanan cyber (cyber security) menjadi isu global yang melewati batas-batas negara. Dan jika isu keamanan cyber dalam hubungan internasional tidak dikelola dengan baik, maka selain dapat mengancam kepentingan nasional suatu negara, juga memunculkan potensi konflik antar negara yang berujung pada terjadinya perang cyber (cyber war).

Menyadari besarnya kepentingan terhadap keamanan cyber dan keinginan untuk meningkatkan kemampuan mengamankan diri dari serangan musuh, banyak negara yang kemudian berinisiatif membentuk badan-badan khusus yang menangani masalah keamanan cyber dalam pertahanan dan keamanan negaranya guna menghimpun segala usaha pertahanan dan serangan balik terhadap keamanan di dunia maya beserta sistem jaringannya.

66 Tahun Kemenlu, Jalan Panjang Diplomasi RI

Hari ini, 19 Agustus 2011, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia tepat berusia 66 tahun, hanya berselisih 2 hari dengan usia Republik ini. Bahwa pembentukan Kemenlu berdekatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sesungguhnya tidak mengherankan jika mengingat bahwa upaya merebut kemerdekaan Indonesia dilakukan secara pararel, selain dilakukan melalui perjuangan bersenjata, juga dilakukan melalui jalur diplomasi.

Seperti dikutip dari buku Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970 “Sejarah Departemen Luar Negeri Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya negara Indonesia itu sendiri, mengapa? Karena setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945 Kabinet pertama Republik Indonesia terbentuk. Salah satu Kementerian atau Departemen yang dibentuk adalah Departemen Luar Negeri dengan bapak Mr. Ahmad Soebardjo Djojohadisurjo sebagai Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia”.

Diplomasi Publik 2.0 dan Blogger

Istilah diplomasi publik 2.0 tiba-tiba muncul dalam pemberitaan di media massa nasional ketika pada pertengahan Januari 2011 Wikileaks mengungkap sebuah kawat berkode referensi Jakarta 0065 tertanggal 12 Februari 2010. Kawat yang dikirimkan dari Kedutaan AS di Jakarta ke Washington itu menyebutkan bahwa “Kedubes AS di Indonesia adalah yang terdepan dalam Diplomasi Publik 2.0. Dengan lebih dari 50.000 fans (di akun Facebook Kedubes AS), paling banyak dari Kedubes AS lain di seluruh dunia, dengan menggunakan sosial media di Indonesia”.

Kontan saja isi kawat tersebut mendapatkan tanggapan dari para pengguna sosial media, khususnya para blogger. Muncul tudingan bahwa Pemerintah AS telah melakukan kegiatan diplomasi dengan memanfaatkan blogger untuk menyebarluaskan informasi terkait kepentingan negeri Paman Sam. Tudingan yang tidak sepenuhnya keliru karena selama tiga tahun terakhir ini Kedutaan AS di Jakarta telah secara aktif menjadi sponsor utama kegiatan Pesta Blogger. Selain mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk membiayai kegiatan Pesta Blogger, Kedutaan AS juga memberikan sumbangan buku-buku untuk perpustakaan di daerah-daerah.

Tintin Diplomacy

Comic fans certainly familiar with Tintin, a character created by Belgian comic artist Georges Remi or Herge (1907-1983). Tintin is a young journalist from Belgium who actively investigate cases of international criminal and adventure to various places, from Russia to the Moon. And in each of his adventures, Tintin is always accompanied by Milou, a fox terrier type dog.

Through his strong imagination and a comprehensive research, Herge was able to narrate every Tintin adventure with enough detail. Herge did not just make a comic series for children who showed muscle strength, he shows Tintin’s views and attitudes toward an issue that was raised at that time.

Tintin adventure story begins with the publication of Les Aventures de Tintin, reporter du Petit “Vingtième”, au pays des Soviets (Adventures of Tintin in the Soviet Union) as a comic strip in Vingtième newspaper published in Belgium in 1929-1930 and made a separate album on 1930. Since then (1930-1986) Herge published a series of Tintin adventures in the Congo, America, Egypt, China, Tibet, Australia as well as in the Moon. Totally there are 23 books plus an unfinished work “Tintin and Alph-Art” in 1986.

Logika Dibalik Diplomasi Yoyo Presiden SBY

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja tiba di Ha Noi, Vietnam, 27 Oktober 2010, ketika bencana Tsunami menerjang kawasan kepulauan Mentawai dan Gunung Merapi memuntahkan debu panas. Keberadaan Presiden di Vietnam tersebut, setelah dua hari sebelumnya berkunjung ke China, sontak memunculkan reaksi di dalam negeri yang menganggap SBY tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya dan lebih memilih melakukan perjalanan ke luar negeri.

Seolah merespon reaksi di dalam negeri, sesaat setelah melakukan kunjungan kenegaraan dan mengadakan pertemuan dengan Presiden Vietnam Nguyen Minh Triet, SBY pun mempersingkat kunjungannya yang semula akan berlangsung hingga 31 Oktober 2010. SBY meninggalkan pembukaan KTT ke-17 ASEAN (diwakili Menko Perekonomian Hatta Rajasa) dan pamitan kembali ke tanah air untuk menengok korban bencana. Akibatnya sejumlah pertemuan bilateral dengan sejumlah Kepala Negara anggota ASEAN dan mitra wicara ASEAN pun dibatalkan. Tercatat pertemuan bilateral yang dibatalkan adalah pertemuan dengan Presiden Filipina, Presiden Korea Selatan, PM China, PM Jepang dan PM Selandia Baru.

Insiden Bendera Filipina terbalik di KTT ke-2 ASEAN-AS

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 ASEAN-AS telah berlangsung pada tanggal 24 September 2010 di New York. Pertemuan dipimpin bersama oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Viet Nam Nguyen Minh Triet selaku Ketua ASEAN 2010 serta dihadiri oleh seluruh Kepala Negara / Pemerintahan negara anggota ASEAN (Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden Boediono).

Secara keseluruhan pertemuan telah berlangsung dengan baik dan lancar serta menghasilkan suatu komitmen bersama untuk meningkatkan dan memperluas kerjasama di berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan dan kerjasama teknis.

Soekarno: Head To Nation

Dalam kesempatan merapihkan file beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan majalah Newsweek terbitan 15 Februari 1965 dengan gambar sampul foto mantan Presiden RI Soekarno dalam pakaian kebesarannya. Berita Presiden Soekarno saat itu layak menjadi headlines terkait gonjang ganjing politik di Indonesia dan kekhawatiran jatuhnya Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya ke tangan komunis. Kekhawatiran tersebut diungkapkan dalam salah satu artikelnya yang berjudul Soekarno: Head To Nation. Mengutip judul artikel Newsweek tersebut saya pernah membuat postingan berjudul sama di  DISINI. Untuk itu dalam tulisan ini saya tidak akan mengulang keseluruhan hal yang telah saya kemukakan disana. Saya mencoba menuliskannya kembali dari sisi yang berbeda.

First Achievement On Indonesia’s Diplomacy

The Linggajati Agreement was a key political accord in the struggle of Indonesia for Independence. When the Republic of Indonesia proclaimed its independence on August 17, 1945, right after Japanese surrender to the Allies, Colonialist Government of Dutch tried to regain control of the former East Indies by sending more troops to attack Indonesian strongholds. It was noticed that between 1945 and 1949 they undertook two military actions.

In this regard, the freedom fight continued and Dutch military aggressions met with solid resistance from Indonesian troops. Along with military action, the young Republic of Indonesian conducted also a diplomatic offensive against the Dutch. Indonesia raised the Dutch’s invasion to the United Nations and pushed the Dutch Government to negotiate.

Gaya Bahasa Diplomasi

Enggak usah terlalu santun dan berputar-putar dech ngomongnya, kayak diplomat aja. Begitu sering kita dengar pernyataan yang ditujukan kepada seseorang yang menggunakan bahasa yang santun dalam menunjukkan suatu fakta, dengan mempergunakan kata tak langsung. Misalkan menggunakan kata “langsing” untuk menyebut “kurus”, “Wah kamu langsing sekali ya ? (padahal mungkin maksudnya adalah “wah kamu kok kurus sekali, apa kurang makan ?”).

Dalam tata krama diplomatik, adalah suatu kelaziman untuk mempergunakan bahasa yang santun sebagai bagian dari tata krama pergaulan, baik dalam forum negosiasi, konferensi, pesta diplomatik ataupun sekedar pertemuan informal. Pada kesempatan-kesempatan tersebut seorang diplomat lebih memilih menggunakan kata atau kalimat tak langsung dalam mengekspresikan pendapatnya, terutama ketika menyatakan persetujuan atau penolakan.