Hampir setiap hari dalam perjalanan menuju dan pulang kantor, jika tidak menyetir kendaraan sendiri, saya lebih memilih naik ojek dibandingkan naik angkutan umum roda empat seperti angkot. Meski membayar lebih mahal dibanding angkot dan sering was-was karena ojek kerap memotong kendaraan di depannya dengan kecepatan tinggi dan penumpang tidak dilengkapi helm, namun naik ojek bisa membawa saya lebih cepat ke tempat tujuan karena lebih leluasa menerobos kemacetan lalu lintas.
Pengalaman naik ojek sendiri bagi saya bukanlah hal yang baru. Sejak sekolah menengah saya sudah terbiasa naik ojek untuk pergi dan pulang ke sekolah. Saat itu belum ada ojek motor seperti sekarang ini, yang ada adalah ojek sepeda. Saya kerap naik ojek sepeda ke sekolah. Sepeda yang digunakan adalah sepeda yang sekarang dikenal sebagai sepeda ontel. Layanan ojek sepeda ini sampai sekarang masih tetap bertahan di kawasan tempat saya tinggal dulu, bersaing dengan ojek motor. Selain di kawasan tempat saya tinggal dulu, ojek sepeda juga masih banyak dijumpai di kawasan stasiun Jakarta Kota.
Dari sejarahnya, saya tidak tahu persis kapan kemunculan ojek di Jakarta untuk pertama kali. Namun menurut infografik yang dibuat Poligrabs, yang mengacu dari beberapa sumber di blog, ojek di Jakarta muncul di daerah Ancol pada tahun 1974 menyusul keberadaan ojek di Jawa Tengah tahun 1969. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai asal-usul tersebut.