Tag Archives: Mongolia

Mengunjungi Peternakan di Mongolia

MongoliaSetelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia, akhirnya saya dan anggota delegasi Konperensi ke-32 Food and Agricultural Organization (FAO) se Asia dan Pasifik tiba di kawasan peternakan Tsonjin Boldog. Secara jarak sebenarnya kawasan Tsonjin Boldog tidak terlalu jauh dari Ulaanbaatar, tidak sampai 100 km, namun karena jalanan di atas padang rumput yang dilewati tidak beraspal dan sebagian besar tertutup lapisan salju maka bus yang kami tumpangi pun tidak bisa melaju cepat.

Musim dingin yang panjang membuat kawasan padang rumput yang di musim panas terlihat hijau, maka di musim dingin justru menjadi putih karena tertutup salju.  Tidak mengherankan jika sepanjang mata memandang yang tampak adalah hamparan padang luas, pegunungan dan perbukitan yang diselimuti salju.

Melongok Dinamika Politik Mongolia

Dalam postingan terdahulu saya sudah bercerita sedikit tentang Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia dan tempat tinggal sekitar 45 persen penduduk Mongolia yang secara keseluruhan berjumlah 2,8 juta orang. Kali ini saya akan bercerita mengenai kehidupan demokrasi di Mongolia, negeri tak berpantai (landlock) yang diapit dua negara besar, Rusia dan China. 

Cerita saya awali dengan terpilihnya Ketua Partai Demokrat Norovyn Altankhuyag sebagai perdana menteri menggantikan incumbent Perdana Menteri Sükhbaataryn Batbold dari partai Rakyat Mongolia pada rapat pleno anggota Parlemen Mongolia (State Great Khural) tanggal 8 Agustus 2012 lalu. Terpilihnya Altankhuyag sebagai perdana menteri baru sangat menarik perhatian mengingat proses penunjukannya yang berlangsung alot dan membutuhkan waktu maksimal selama 45 hari seperti yang diamanatkan Konsitusi Mongolia.

Menarik, karena meski Partai Demokrat yang dipimpin Altankhuyag memenangkan pemilu legislatif yang berlangsung pada tanggal 28 Juni 2012, partai tersebut tidak otomatis dapat membentuk pemerintahan baru. Hal tersebut bisa terjadi karena kemenangannya tidak bersifat mayoritas (50 persen+1). Partai Demokrat hanya memenangkan 31 kursi dari 76 kursi parlemen yang diperebutkan atau kurang 8 kursi dari yang dipersyaratkan. Akibatnya, agar bisa membentuk pemerintahan baru, Partai Demokrat mesti melakukan kerjasama atau koalisi dengan partai peserta pemilu lainnya agar memenuhi syarat minimum 39 kursi parlemen.