“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama,” peribahasa ini memiliki arti bahwa setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.
Peribahasa
ini sangat tepat untuk mengenang Sukarno atau Bung Karno, Bapak Proklamator Kemerdekaan
dan salah seorang pendiri bangsa Indonesia yang pada 51 tahun yang lalu pergi
untuk selama-lamanya. Bung Karno wafat sesudah jatuh sakit selama waktu singkat
dan tanpa perawatan yang baik pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970.
“Bung
Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan
tekanan darah tinggi sejak lama. Namun, tak selayaknya seorang proklamator
bangsa, akhir hidupnya dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus
menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965. Di
rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk
dengan waktu terbatas,” tulis Kompas dalam “50 Tahun Wafatnya Bung Karno: Akhir
Hidup dalam Kesepian,” 21 Juni 2020.
Seperti
ditulis akun Instagram @presidensukarno “Suasana kelam menggeluti langit Kota
Jakarta. Sejak ditetapkan sebagai tahanan rumah pada Januari 1968, kesehatan Bung
Karno terus memburuk. Dalam pertengahan Juni 1970 ia diangkut dari Wisma Yaso
ke RSPAD Jakarta. Berbondong-bondoing rakyat tumpah ruah di sepanjang jalan selama berhari-hari yang
amat menguras air mata itu. Mereka mendoa, kesehatan Bung Karno akan membaik.
Namun takdir berkata lain”.