Mengawali 1 tahun pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan kunjungan bilateral ke Amerika Serikat (AS) memenuhi undangan Presiden AS Barrack Obama. Salah satu isu yang mengemuka dalam kunjungan yang berlangsung pada 25-28 Oktober 2015 tersebut adalah keinginan Indonesia bergabung ke Trans-Pacific Partnership (TPP). Keinginan untuk bergabung dengan TPP disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi kepada Presiden Obama saat pertemuan di Gedung Putih. Suatu pernyataan yang tampaknya dinantikan AS, setelah Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih memilih untuk tidak bergabung dengan TPP.
TPP merupakan kerja sama kemitraan ekonomi strategis negara-negara di lingkar Pasifik yang diinisiasi oleh AS dan perundingan traktatnya diikuti 12 negara yaitu AS, Australia, Brunei Darussaalam, Chili, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Viet Nam, Mexico, Kanada dan Selandia Baru. Setelah perundingan selama 7 tahun, akhirnya pada tanggal 5 Oktober 2015 ke-12 negara peserta perundingan menyepakati Traktat TPP.
Traktat tersebut merupakan suatu kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang sebelumnya dikenal sebagai Pacific 4 (Singapura, Brunei Darussalam, Chile dan Selandia Baru). Kerja sama tersebut menjadi blok perdagangan sangat besar yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28.1 Trilyun GDP gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk yang tersebar di ke-12 negara.
Keinginan Indonesia untuk bergabung ke TPP justru setelah tuntasnya perundingan dan disepakatinya Traktat TPP oleh 12 negara, kemudian memunculkan pandangan pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pertanyaan atau keraguan dari berbagai pihak pun muncul karena bergabungnya Indonesia dengan TPP dipandang akan merugikan Indonesia.