“Saya ingin sekali menulis, tapi saya kan tidak punya bakat menulis dan tidak punya waktu, jadi bagaimana saya bisa menulis?”, begitu kegalauan banyak orang yang ingin sekali menulis.
“Lebih mudah bercerita sambil ngopi daripada menulis,” ujar yang lain
Menyadari kegalauan kebanyakan orang yang ingin menulis tapi tidak tahu harus darimana memulainya, maka Ahmad Fuadi yang kondang dengan novelnya “Negeri 5 Menara” pun memberikan nasihat “sederhana”.
“Menulislah mulai dari satu huruf, satu kata, satu kalimat, dan akhirnya satu paragraf serta satu halaman” begitu nasihat yang disampaikan Ahmad Fuadi saat mengawali paparannya di acara diskusi dan tips menulis buku di KBRI Mexico City pada 17 Oktober 2018. Sekitar 30 orang warga Indonesia yang tinggal di Mexico City hadir pada acara ini.
Saya yang duduk di sebelah Ahmad Fuadi sebagai moderator diskusi, ketika mendengar nasihatnya lantas teringat akan sebuah kalimat bijak dari Tiongkok “Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama”. Sebuah petuah yang mengingatkan bahwa perjalanan panjang selalu didahului dengan langkah pertama, kedua dan selanjutnya. Langkah pertama seringkali dipandang sebagai sesuatu yang menyulitkan, butuh pertimbangan, pemikiran dan perkiraan akan akibat yang akan dihadapi. Akibatnya banyak yang ragu untuk memulai dan lebih memilih untuk terus berpikir dan berpikir tanpa ada tindakan.
Mendengar nasihat to the point yang disampaikan Ahmad Fuadi, para peserta diskusi terlihat hanya tersenyum. Saya tidak mengerti arti senyuman mereka, apakah senyuman tersebut menandakan mereka paham akan apa yang disampaikan atau malah bingung.
Tapi syukurlah, sebelum muncul kebingungan, Ahmad Fuadi kemudian menceritakan pengalamannya menulis. Ia bercerita mengapa seseorang mesti menulis buku atau novel dan bagaimana tips untuk bisa menulis dengan baik.
Menurut Ahmad Fuadi, alasan kenapa seseorang harus menulis buku pada hakikat adalah untuk menciptakan keabadian dan melintasi jaman. Menulislah setidaknya satu buku selama hidup agar dikenang oleh generasi mendatang. Dengan menulis maka kehidupan seseorang bisa abadi, melintasi jaman, bahkan setelah si penulis tersebut tiada. Apa yang dituliskan dalam buku akan tercatat abadi dan bisa diwariskan. Beda dengan obrolan-obrolan yang mirip buih ombak di lautan, yang seberapa besarnyapun, akan hilang begitu tiba di pantai.
Alasan lain seseorang harus menulis adalah keinginan untuk berbagi segala sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitan ini Ahmad Fuadi mengatakan bahwa dirinya sangat termotivasi oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”
Selain Nabi Muhammad SAW, tokoh lain yang memotivasinya untuk menulis adalah Sayid Qutub yang dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa “Tulisan lebih kuat dari peluru.” Karena lebih kuat dari peluru, sebuah tulisan bisa menembus hati dan pikiran orang lain tanpa harus menyentuh secara fisik.
Dengan alasan-alasan kuat untuk menulis seperti tersebut di atas, Ahmad Fuadi kemudian memutuskan untuk menulis buku secara serius dan khusus belajar menulis novel. Pengalamannya menulis sebagai wartawan belum cukup untuk menulis novel. Menurut Ahmad Fuadi, menulis berita sangat berbeda dengan menulis novel atau buku-buku lainnya.
Ahmad Fuadi kemudian mulai belajar secara otodidak dengan membaca berbagai referensi seperti buku-buku “How To Write a Novel” dan novel-novel yang terkait dengan rencana penulisannya. Bukan hanya membaca, ia pun mempraktekkan apa yang dibaca dengan berlatih menulis setiap hari untuk “melatih otot menulis”, hingga akhirnya berhasil menulis novel pertamanya “Negeri 5 Menara.”
Dari pengalaman menulis novel Negeri 5 Menara dan novel-novel berikutnya, Ahmad Fuadi bisa menyusun tips praktis menulis dengan mendasarkan pada upaya menjawab pertanyaan 3W1H: Why, What, When dan How.
Untuk menjawab pertanyaan pertama Why (mengapa), langkah yang harus dilakukan adalah menemukan jawaban mengapa kita akan menuliskan mengenai sesuati hal tertentu. Ketika menulis Negeri 5 Menara dengan latar belakang pesantren, Ahamd Fuadi menemukan alasan mengapa harus menulis tentang kehidupan pesantren. Alasannya sederhana, karena cerita atau novel tentang kehidupan pesantren belum ada yang menulis. Padahal banyak peristiwa dalam kehidupan di pesantren yang dapat dituliskan dan layak diketahui publik.
Langkah kedua adalah menentukan “what (apa)” yang harus ditulis. Banyak hal-hal yang terdapat di sekeliling kita yang sesungguhnya bisa dijadikan tulisan menarik dan bermanfaat, namun kerap seseorang tidak menyadarinya. Untuk itu, mulailah menulis dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan si penulis. Di novel Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi menulis tentang kehidupan pesantren karena hal itu sangat dekat dengan kehidupannya. Selama 4 tahun Fuadi tinggal di pondok pesantren Madani Gontor, tentu banyak pengalaman yang membekas.
Langkah ketiga adalah menentukan bagaimana (how) mengeksekusi rencana menulis? Untuk mengawalinya bisa dilakukan dengan mengumpulkan data dan fakta agar penulisan berjalan lancar dan tulisan berisi. Lakukan riset dengan baik. Dalam Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi mulai melakukan riset antara lain dengan mengumpulkan kembali buku harian yang dibuatnya sejak SMP dan surat-surat yang dikirim ke ibunya. Ia juga membaca novel-novel yang menceritakan kehidupan di sekolah berasrama seperti Harry Potter.
Melalui buku harian dan surat lawas yang disimpan rapih oleh ibunya, Ahmad Fuadi bisa membangun kembali ingatan akan masa-masa ia berada di kampung halamannya di Maninjau ataupun saat berada di Pesantren. Dengan munculnya kembali ingatan-ingatan tentang masa lalu maka ia lebih mudah untuk menuangkan gambaran yang diinginkannya dalam bentuk tulisan.
Sedangkan dengan membaca novel-novel yang menceritakan kehidupan di sekolah berasrama, Ahmad Fuadi berharap mendapat gambaran mengenai cara bertutur dan menuangkan imajinasi tanpa bermaksud untuk mencontek.
Langkah keempat adalah menentukan kapan penulisan dilakukan, apakah dilakukan setiap hari satu halaman atau sesuai mood? Ahmad Fuadi menyarankan sebaiknya penulisan dilakukan setiap hari, setidaknya satu hari satu halaman, daripada harus menunggu mood dan menulis secara maratahon. Ibarat menabung, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.
Dengan menulis setiap hari maka sama saja dengan melatih otot menulis. Semakin sering berlatih semakin lentur kita menulis dan menuangkan kata-kata. “Setidaknya begitulah yang saya alami. Buku pertama saya, Negeri 5 Menara, meski menjadi buku populer namun dinilai kurang terkesan sebagai sebuah karya sastra. Pada buku selanjutnya barulah kesan sastranya lebih kuat,” ujar Ahmad Fuadi saat mengakhiri diskusi.
Semua peserta terlihat puas dengan apa yang disampaikan Ahmad Fuadi mengenai tips menulis. Setelah penyerahan tanda kenang-kenangan dari KBRI Mexico City dan berfoto bersama, beberapa warga masyarakat Indonesia, khususnya yang berlatar belakang pendidikan sastra (ada beberapa orang Indonesia yang merupakan alumni Sastra UI dan ada yang menjadi profesor di sebuah universitas di Meksiko) kemudian melanjutkan perbincangan dan bertanya langsung ke Ahmad Fuadi.
Mexico City, 18 Oktober 2018
Leave a Reply