Belum ke Yogya kalau belum menengok Tugu
Pal Putih atau Tugu Yogya yang terletak di perempatan jaklan Margo Utomo dan
Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta.
Tugu yang dibangun di sisi utara Keraton
oleh Sultan Hamengku Buwana I pada 1755. Pada awalnya, tugu ini berbentuk
Golong-Gilig dan mempunyai tinggi mencapai 25 meter, dimana tiang dari tugu ini
berbentuk Gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk Golong (bulat), sehingga
pada masa itu tugu ini disebut dengan nama Tugu Golong-Gilig. Pada awal
dibangunnya tugu ini mempunyai makna Manunggaling Kawula Gusti yang
menggambarkan semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan
penjajah. Namun di sisi lain juga bisa bermakna sebagai hubungan antara manusia
dengan Sang Pencipta.
Mengacu catatan sejarah Pada tanggal 10
Juni 1867 terjadi gempa hebat di Jogjakarta dan mengakibatkan runtuhnya
bangunan tugu Golong Gilig. Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah,
saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat
dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang
menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak
lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Tidak hanya itu saja, tinggi
bangunan yang awalnya mencapai 25 meter pun dibuat hanya setinggi limabelas
meter. Tugu ini kemudian diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada
tanggal 3 Oktober 1889. Semenjak itu, tugu ini disebut dengan nama De Witt Paal
atau Tugu Putih.
Dikutip dari VisitingJogja.com, Tugu Pal
Putih ini merupakan salah satu dari tiga titik yang apabila ditarik suatu garis
lurus dengan Keraton di tengah dan Panggung Krapyak di Selatan akan membentuk
sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Secara simbolis filosofis poros imajiner
ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya
(Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia
dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung
Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut
Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether).
Demikian juga tiga unsur yang menjadikan
kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu
imajiner tersebut. Sri Sultan Hamengku Buwana yang menyandang gelar Sayidin
Panatagama Kalifatullah konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini
kemudian mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamêmayu Hayuning
Bawana”, dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”
Meski bentuknya sudah berbeda, namun Tugu
Golong Gilig tetap dipandang melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan
proses kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan
Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat
(golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Itulah sebabnya Tugu Pal Putih ini juga tetap dianggap sebagai titik pandang
utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal
Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Hubungan filosofi antara Tugu, Kraton
dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri
Sultan Hamengku Buwana I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan
Paraning Dumadi”
Filosofi dari Panggung Krapyak ke utara
menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak
dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi). Alun-alun Selatan
menggambarkan manusia yang telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis
karena sudah akhil baligh.
Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah
selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq (paraning dumadi).
Golong gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian
hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan
melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus
ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang
negatif).
Leave a Reply