Cerita dari Ulaanbaatar

Dari jendela pesawat B737-200 Air China terlihat deretan perbukitan yang dilapisi hamparan padang rumput menyerupai karpet hijau. Nyaris tidak ada tumbuhan besar yang terlihat kecuali rerumputan yang tumbuh subur Sementara di kawasan lembah terlihat rumah-rumah penduduk dengan disain arsitektur sederhana, bahkan tidak sedikit di antaranya berbentuk tenda-tenda bulat.

Menjelang pendaratan terjadi sedikit guncangan di udara karena awan dan terjangan angin yang cukup kuat. Saat mendarat di bandara Chinggis Khaan Ulaanbaatar Mongolia, sekali lagi terjadi guncangan, kali ini disebabkan oleh landasan bandara yang tidak mulus. Masih dari jendela pesawat, sepanjang perjalanan menuju belalai kedatangan, terlihat beberapa rongsokan helikopter militer dan pesawat milik Mongolia Airlines teronggok di pinggir landasan.

Jangan bandingkan bandara Chinggis Khaan dengan bandara di Beijing atau bahkan Soekarno-Hatta, bandara ini cukup sederhana, mirip bandara-bandara yang ada di beberapa provinsi di Indonesia. Selesai dengan urusan keimigrasian dan barang bawaan, kami segera meninggalkan bandara menuju pusat kota Ulanbaatar.

Ulaanbaatar atau biasa disebut Ulan Bator yang berarti ‘pahlawan merah’ adalah ibukota Mongolia, negara di kawasan Asia Timur dan Tengah yang diapit Rusia dan Cina.  Ulaanbaatar merupakan kota terbesar di Mongolia dengan penduduk sekitar 1,3 juta atau hampir setengah dari penduduk Mongolia yang berjumlah 2,8 juta jiwa dan merupakan jantung keuangan dan industri serta pusat budaya Mongolia. Menurut sejarahnya, Ulaanbaatar sendiri didirikan pada tahun 1639 sebagai pusat kegiatan suku-suku nomad Mongol. Namun posisi kota yang permanen seperti yang dikenal sekarang ini sebenarnya baru ditetapkan sekitar 150 tahun setelah didirikan atau pada tahun 1778 setelah sebelumnya berpindah-pindah sebanyak puluhan kali. .

Sebagai ibu kota negara yang landlock, selain terhubung dengan sarana transportasi udara, sarana transportasi lain yang menghubungkan Ulaanbaatar dengan dunia luar hanyalah melalui jalan darat, termasuk penggunaan jaringan kereta Trans-Siberian Railway ke Rusia dan Chinese railway system ke Cina.

Cerita tentang Mongolia, ingatan banyak orang tertuju kepada Genghis Khan (di Mongolia disebut dengan Chinggis Khaan), seorang tokoh besar yang mempersatukan suku-suku nomad di Mongolia dan mendirikan Kekaisaran Mongol pada tahun 1209. Pada puncak kejayaannya, kekuasaan Kekaisaran Mongol membentang seluas 33 juta kilo meter hingga Eropa Tengah dan sebagian wilayah Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Kini di abad ke-21, Mongolia bukan lagi negara besar karena sejak berabad-abad yang lalu kekuasaannya runtuh akibat konflik internal dan juga perang bangsa-bangsa, termasuk Cina yang menginvasi Mongolia pada masa Dinasti Ming pada tahun 1370 dan mengambil alih sebagian wilayah dan masyarakat Mongol. Penduduk yang tersisa mengungsi ke wilayah tengah dan bertahan sebagai bangsa dan negara Mongolia hinga kemudian membentuk Ulaanbaatar sebagai ibu kota negara,

Meski punya sejarah kejayaan yang besar, jangan bayangkan Ulaanbaatar saat ini seperti ibu kota negara lainnya di negara maju. Ulaanbaatar kini tidak lebih dari sebuah ibu kota negara yang tua, kusam dan jarang bersolek. Berada di bawah pengaruh asing selama berabad-abad, termasuk dibawah pengaruh dan kendali Rusia, masyarakat Mongol seperti belum sempat berbenah dan membangun dirinya.

Dalam kesempatan berkunjung ke Ulaanbaatar beberapa hari lalu, saya melihat sendiri kondisi tersebut. Sepanjang perjalanan dari bandara Chinggis Khan menuju pusat kota , jalanan beraspal yang dilalui penuh lobang di sana-sini dan debu-debu beterbangan, di kiri kanan jalan terlihat tempat tinggal penduduk berbentuk rumah ataupun tenda yang sangat sederhana. Sementara di latar belakang terlihat perbukitan menghijau dan hamparan padang rumput luas dengan kuda-kuda yang sedang merumput.

 Begitu memasuki pusat kota, terdapat jalan utama yang membelah kota Ulaanbataar dengan jejeran toko dan restoran serta bangunan bertingkat di kiri kanan jalan.Bangunan-bangunan tersebut terlihat kumuh dan sebagian besar terbengkalai dan dibiarkan tidak terurus. Menurut keterangan pengemudi yang membawa kami ke pusat kota, bangunan-bangunan tersebut meruoakan peninggalan Uni Soviet dan jika sekarang terlihat rusak dan tidak terurus karena pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk merawatnya.

Lalu lintas jalan raya terlihat ramai dan padat dipenuhi berbagai kendaraan berbagai merk ternama, namun kotor dan berdebu karena percikan debu yang berasal dari jalanan yang kebanyakan tidak beraspal. Kemacetan terjadi di beberapa ruas jalan, dengan satu dua orang polisi lalu lintas yang tengah berupaya mengurai kemacetan tersebut. Uniknya, meski lalu lintas di Mongolia menggunakan sistim jalur kanan dan letak kemudi kendaraan di sebelah kiri, namun dari pantauan terlihat bahwa kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang memiliki kemudi yang tidak seragam. Ada kendaraan yang menggunakan kemudi di sebelah kiri sesuai aturan, sementara tidak sedikit pula yang menggunakan kemudi di sebelah kanan.

Melihat kondisi Ulaanbaatar seperti di atas, saya membayangkan kota Ulaanbaatar seperti sebuah kota kabupaten di Indonesia saat ini atau Jakarta tahun 70an yang masih sangat sederhana.

Namun di balik kesederhanaan kota Ulaanbaatar dan dibalik tembok-tembok bangunannya, terlihat semangat kehidupan masyarakat lokal yang cinta akan tanah air dan kotanya. Cinta akan sejarah, budaya, dan sisa perjuangan yang membekas di tiap goresan temboknya. Di balik tembok-tembok itu, masyarakatnya berlindung dari udara dingin yang berlangsung sepanjang tahun. Sikap optimis terlihat dari raut khas wajah masyarakat Monglolia dengan mata sipit, kulit cokelat, serta rona merah yang mewarnai tulang pipi nan besar.

 

6 Responses to Cerita dari Ulaanbaatar

  1. h totok sugiyanto says:

    ketika mambaca cerita ini, saya seolah dibawa ke alam mimpi di dalam wilayah Ulan Bator, sungguh menarik dan sangat bermanfaat menambah /memenuhi sisa-sisa ruang memori yang tersisa di kepala saya….terima kasih pak AHU…semoga semakin sukses melaksanakan tugas nun jauh disana…salam shoum..

  2. happy says:

    ijin saya teruskan di fb saya ya..trims :)

  3. Aris Heru Utomo says:

    Silahkan mbak Happy

  4. Mahadi says:

    Saya berencana mau berkunjung kesana bulan april ini,,,kira2 komunitas indonesia di ulan bator banyak gak, dan alamatnya dimana,,,atau ada kah no telp yang bisa dihubungi disana?

    Makasih
    Mahadi capah – Batam
    capahpm@gmail.com

  5. Aris Heru Utomo says:

    Di Mongolia ada beberapa orang Indonesia, tapi biasanya mereka tinggal di Ulaanbaatar hanya sebentar. Mereka umumnya kerja di pertambangan jauh dari ibu kota.

  6. dian olly says:

    Halo Mas Aris,
    Daku and bbrp kawan ceritanya mo bertualang ke mongol nihhh… tertariknya sihh sama kehidupan suku mongol pedalaman yg nomaden itu, pengen ngerasaain cara hidup jaman Zenghis Khan gitu dehhh ceritanya ^_^
    Flight dari Beijing ke Ulanbaatar yg paling murce pake maskapai apa yaa…??
    Rute kita dari jkt/sby ke Beijing, baru dari Beijing ke Ulanbaatar.
    Mohon pencerahannya kakaaa…
    Makasih banyaak
    Regards,
    Dian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *