Halaman parkir
kendaraan dan lorong menuju makam Sunan Kalijaga masih terlihat sepi ketika kami
tiba di lokasi pada Jumat 30 April 2021. Beberapa pedagang di kiri kanan lorong
terlihat baru saja bersiap membuka kiosnya.
Tempat
peristirahatan terakhir salah seorang Wali Songo di Pulau Jawa tersebut terletak
di Desa Kadilangu, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak, sekitar 1,5 km dari
Masjid Agung Demak ke arah tenggara. Lingkungan makam berada disekitar
pemukiman penduduk yang padat.
Komplek
makam ini dikelilingi tembok dengan cungkup beratap dua lapis berbentuk joglo
dengan puncak atap berbentuk piramid. Dinding cungkup dikelilingi tembok dari
marmer dengan pintu dan jendela berukir.
“Di bulan Ramadan
ini peziarah sangat sepi karena bangunan cungkup makam Sunan Kalijaga tertutup bagi
peziarah. Peziarah yang datang tidak
bisa melihat makam Kanjeng Sunan secara langsung, kecuali makam-makam yang ada di
sekitar cungkup.” ujar petugas pencatat tamu saat kami tanyakan mengapa makam
sepi.
“Di luar bulan
Ramadan, suasana di area ziarah sangat ramai karena cungkup dibuka setiap Jumat
Pon, Pahing dan Kliwon. Peziarah bisa melihat langsung makam Kanjeng Sunan Kalijaga
dan kerabat terdekatnya di dalam cungkup,” ujar pencatat tamu menambahkan
sambil mencatatkan nama saya di buku tamu.
Sambil
menunggu nama saya dicatatkan di buku tamu, saya melihat sebuah potret hitam
putih di dinding yang memperlihatkan gambar cungkup makam Sunan Kalijaga. Sebuah
cungkup berarsitektur Jawa dengan atap bersusun dua. Cungkup terlihat kokoh dan
terpelihara dengan baik meski ada bagian atap yang terlihat miring di bagian
depan. Suasana di sekitar cungkup
terlihat asri. Pada keterangan foto tertulis “Dokumen Makam Sunan Kalijaga 1910”.
Sunan Kalijaga
sendiri adalah salah seorang Wali Songo yang legendaris dan banyak dikenal
dibandingkan Wali Songo lainnya. Beliau diperkirakan lahir pada 1450 dengan
nama Raden Sahid. Beliau adalah adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain dari Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya,
Syekh Malaya, Pangeran Tuban dan Raden Abdurachman.
Kedudukan
Sunan Kalijaga di Kadilangu adalah sebagai kepala daerah perdikan yang
menguasai beberapa desa di sekitar Kadilangu dan memiliki kekuasaan penuh
terhadap daerah tersebut untuk mengaturnya. Mengingat Kadilangu merupakan
daerah khusus yang memang diperuntukkan untuk Sunan Kalijaga dan kemudian dilanjutkan
oleh keturunannya, maka keberadaan makam (dan juga masjid) memilki arti khusus
bagi Kadilangu dan bukti pengaruh Sunan Kalijaga salah satu walisongo yang
sangat dihormati dari dulu sampai sekarang.
Banyak kisah
menarik sebelum dan sesudah Sunan Kalijaga menjadi salah seorang wali penyebar
agama Islam di pulau Jawa.
Sebagai
seorang anak adipati Tuban yang juga seorang Muslim, sejak muda Raden Sahid dikenal
cakap dan rajin beribadah serta kerap membaca ayat-ayat Al Quran di kamarnya di
Kadipaten. Ia pun sangat diharapkan dapat menjadi penerus ayahandanya untuk
menduduki jabatan adipati kelak. Namun karena adanya ketidakadilan dan
perlakuan semena-mena dari para pejabat kadipaten, dimana ayahnya tidak dapat
berbuat banyak, Raden Sahid kemudian memberontak dan menjadi perampok budiman dengan
sasaran aksi gudang penyimpanan beras Kadipaten. Hasil rampokannya kemudian
dibagi-bagikan kepada rakyat miskin.
Ketika kemudian
ayahandanya mengetahui aksi Raden Sahid, ia pun diusir dari Kadipaten dengan
pesan jangan kembali sebelum bisa menggetarkan dinding-dinding tembok Kadipaten
dengan suara bacaan ayat suci Al Quran
seperti yang selama ini dibaca Raden Sahid.
Di tengah
ketidakpastian nasibnya selepas dari kadipaten, Raden Sahid mengembangkan
karirnya sebagai perampok budiman yang kemudian dikenal sebagai berandal Lokajaya.
Ia meramppok harta orang-orang kaya yang pelit dan tamak, kemudian membagi-bagikan
hasil rampokannya kepada orang-orang miskin.
Karirnya sebagai
perampok berakhir Ketika Raden Sahid bertemu Sunan Bonang dan kemudian menjadi mentor
dan gurunya. Ia menemukan pencerahan dari pertemuannya dengan Sunan Bonang
dipinggir sungai (kali). Menuruti pesan Sunan Bonang saat pertama kali bertemu,
Raden Sahid pun menanti kedatangan kembali Sunan Bonang di pinggri kali dengan
bertapa, Di kemudian hari Raden Sahid dikenal sebagai Sunan Kalijaga yang bermakna
Sunan penjaga kali.
Selesai berguru
dari Sunan Bonang, Raden Sahid pun kemudian berdakwah dan menolak menjadi Adipati
Tuban. Dalam perkembangannya, Sunan Kalijaga memiliki peran penting dalam penyebarluasan
ajaran Islam di tanah Jawa. Ia berdakwah dengan mengadaptasi kearifan lokal antara
lain menggunakan sarana keseniaan dan kebudayaan misalnya wayang kulit. Ia pun
menjadi salah seorang ulama yang disebut sebagai Wali Songo di pulau Jawa.
Sebagai seorang
ulama, Sunan Kalijaga dan juga para ulama lainnya pada masa kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara tidak terlepas dari bidang kenegaraan dan pemerintahan. Bagi
yang masih awam, peran Wali Songo di
bidang politik tentu saja mengherankan.
Pada umumnya,
kita mengenal Wali Songo adalah sembilan orang wali yang menyebarkan Agama
Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Kesembilan wali tersebut yaitu Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan giri, Sunan Drajad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Namun,
sebenarnya berdasarkan rentang waktu penyebaran agama Islam di Nusantara yang
mencapai ratusan tahun, tidak mungkin jumlah wali hanya sembilan orang pada
kurun waktu yang bersamaan.
Menurut MB.
Rahimsyah AR. (Kisah Perjuangan Walisongo halaman 5) sebenarnya Wali Songo
adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila salah seorang dari
dewan tersebut pergi atau meninggal dunia, maka akan segera diganti oleh wali
lainnya. Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang
penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Wali Songo melakukan
sidang tiga kali, yaitu: tahun 1404 M adalah sembilan wali, tahun 1436 M masuk
tiga wali mengganti yang wafat, tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang
wafat dan pergi.
Menurut KH.
Dachlan Abd. Qohar dalam MB. Rahimsyah AR, pada tahun 1466 M, Wali Songo
melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Di antaranya adalah perkara Syekh
Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali, yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan
Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Wali
Songo.
Dalam kaitan
dengan peran Sunan Kalijaga dalam politik Kerajaan Demak, kerajaan Islam
pertama dan terbesar di pantai Utara Jawa, seperti disebutkan oleh Imron Abu
Amar yang merujuk pada Babad Demak dan ditulis dalam artikel “Peranan Politik
Wali Songo Dalam Kehidupan Bernegara Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa” yan g diunggah
dalam web Histocantrophus (download Mei 2021), Sunan Kalijaga berperan dalam pencalonan
Pangeran Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama
“Djoko Tingkir” yang merupakan menantu Sultan Demak Trenggono. Calon yang
diajukan Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Kudus yang mencalonkan Arya Penangsang
(Adipati Jipang) yang merupakan pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak
Sikap
pencalonan Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran Hadiwijaya ini disertai alasan
bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan (kerajaan)
Islam Demak akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak,
agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila
pusat kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang).
Sikap dan
pendapat Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena
ini berpendapat apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman (di
Pajang) sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia , terutama menyangkut
bidang Tasawwuf besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau
Klenik. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan
sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Pangeran Hadiwijaya.
Perdebatan mengenai
siapa pengganti Sultan Trenggono sebagai Sultan Demak berlangsung lama dan diikuti
dengan terjadinya perang saudara. Namun sejarah kemudian mencatat bahwa kasultanan
Demak pindah ke Pajang. Pangeran Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak
yang tersisa setelah ia, bersama-sama dengan Ki Gede
Pamanahan dan Ki Penjawi,
membunuh Arya Penangsang. Demak kemudian menjadi vasal dari Pajang.
Dari sini kita mengetahui adanya peranan Wali Songo dalam bidang politik yang sangat menonjol, namun juga pada akhir hayatnya kemungkinan lebih berperan dalam menyiarkan agama Islam dari pada politik Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Leave a Reply